Baca Koran babelpos Online - Babelpos

Pulau Tujuh (7 Eiland) (1)

Akhmad Elvian dan Pulau Tujuh.-screnshot-

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung

Penerima Anugerah Kebudayaan

 

PENGANTAR Tulisan 

Presiden RI, Prabowo Subianto telah melakukan rapat bersama untuk membahas permasalahan dinamika 4 pulau di Sumatera Utara dan di Aceh.   Dari rapat tersebut, pemerintah memutuskan 4 pulau tersebut masuk ke dalam wilayah Aceh.  Hal itu berdasarkan dokumen yang dimiliki oleh pemerintah.  

"Berdasarkan laporan, dari Kemendagri, berdasarkan dokumen-dokumen data-data pendukung dan kemudian tadi bapak Presiden telah memutuskan bahwa pemerintah berlandaskan kepada dasar-dasar dokumen yang dimiliki oleh pemerintah, telah mengambil keputusan bahwa keempat pulau yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Gadang dan Pulau Mangkir Ketek secara administratif berdasarkan dokumen yang dimiliki oleh pemerintah, adalah masuk ke wilayah administratif provinsi Aceh," tegas Mensesneg, Prasetyo Hadi di Kantor Kepresidenan, Selasa, 17 Juni 2025.

Lalu, bagaimana dengan nasib Pulau Tujuh yang kini masuk ke Provinsi Kepulauan Riau, padahal historinya masuk ke Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel).  Dan ini sudah mencuat sejak Provinsi ini berdiri?  

Pertanyaannya, kenapa tak kunjung berhasil diambil lagi oleh Babel? Apakah ada yang salah?  Atau para petinggi daerah ini kurang peduli? Atau kurang gigih?

Berikut bukti sejarah Pulau Tujuh yang memang bagian dari Provinsi Babel, tulisan Sejarahwan Babel, Dato’ Akhmad Elvian, DPMP.

***

PENTING dan strategisnya keberadaan Pulau Tujuh yang terletak di Utara pulau Bangka yang oleh pedagang-pedagang Tiongkok disebut Chi-shu (Pulau Tujuh) serta dalam literatur Belanda disebutkan Poeloe Kadjangan atau 7 Eiland (Pulau Tujuh), sedikit dapat dipelajari dari perjanjian yang dilakukan antara raja Sunda penguasa Banten bergelar “Samiam” dengan Henrique Lem utusan Gubernur Portugis di Malaka Jorge d’Albuquerque. Perjajian dilakukan untuk menjaga keamanan rute pasokan dan distribusi Lada dari Banten (monopoli perdagangan Lada oleh Banten) oleh Portugis dan sebagai imbalannya, Portugis memberikan bantuan kepada penguasa Banten melawan musuhnya yaitu kerajaan Demak, serta diperbolehkan mendirikan benteng dan diberi jaminan dalam pelayarannya menuju Banten. Benteng kemudian didirikan di wilayah Kalapa dan di daerah ini didirikan batu peringatan Padrao dalam bahasa Portugis. 

Perjanjian antara Protugis dan kerajaan Sunda dibuat pada Tanggal 21 Agustus 1522 Masehi ditandai dengan batu peringatan (Padrao) dalam bahasa Protugis. Padrao ditemukan di Jalan Cengkeh, Jakarta (dahulu bernama Prinsen Straat), sekarang Padrao tersimpan di Museum Nasional Jakarta dengan nomor inventaris 18423/26. Rute perjalanan pelayaran perdagangan yang dilindung raja Sunda dan Portugis tersebut meliputi, pertama sekali dari pulau Aur ke Banten, tempat yang dilalui pelayaran ini antara lain Chang-yao shu (pulau Mapor), Lung-ya-ta-shait (gunung Daik di pulau Lingga), Man-t'ouhsu (pulau Roti?), Chi-shu (pulau Tujuh) dan Peng-chia shan (gunung Bangka gunung Menumbing), sampai di mulut sungai Palembang perahu bisa masuk ke hulu ke Chiii-chiang (surga Palembang). Perjalanan dilanjutkan ke arah Selatan memasuki Selat Bangka melalui selat yang sempit antara Tanjung Tapa dan Tanjung Berarti, San-mai shu (pulau Maspari), Kuala Tu-ma-heng (Wai Tulang Bawang), dan Lin-ma to (Wai Seputih). Dilanjutkan melalui Kao-Ta-lan-pang (Wai Sekampung), Nu-sha la (Ketapang), Shih-tan (pulau Sumur). Dari sini arah diubah ke tenggara dan setelah Tujuh jam kemudian sampai di Shun-t'a (Sunda) (Mills, 1984:127). Pelayaran atau rute perdagangan ini sangat jelas dilakukan dengan menyusuri kawasan di sekitar pantai timur Sumatera, pulau di utara pulau Bangka yaitu pulau Tujuh (Chi-shu) terus ke pulau Bangka dan rute perjalanan terus memasuki selat Bangka untuk kemudian terus menuju Sunda (Shun-t'a). Perjanjian ini hanya berlangsung singkat karena pada Tahun 1527 Masehi, Fatahillah berhasil menguasai Sunda Kelapa.

Pada sekitar abad XVII Masehi, Kesultanan Banten berkembang mencapai puncak kejayaannya seiring dengan perkembangan penyebaran agama Islam, perkembangan politik dengan melemahnya Kesultanan Demak dan perkembangan perdagangan intercontinental. Sebelum menjadi Satu kesultanan, Banten sudah menjadi negeri penghasil Lada yang penting di dunia. Selama abad ke 16 Masehi perdagangan rempah-rempah (termasuk Lada) dunia didominasi oleh bangsa Portugis dengan Lisbon sebagai pelabuhan utama. Sebelum revolusi di Belanda, Kota Antwerp di negeri Belanda memegang peran sebagai distributor rempah-rempah di Eropa Utara, akan tetapi setelah Tahun 1591 Masehi, Portugis melakukan kerjasama dengan firma-firma Jerman, Spanyol dan Italia dengan menjadikan Hamburg sebagai pelabuhan distributor dan tidak melewati negeri Belanda, hal inilah yang pada masa-masa selanjutnya mendorong Belanda memasuki perdagangan rempah-rempah interkontinental. Untuk menjaga pasokan dan distribusi Lada dari Banten dilakukanlah perjanjian antara raja Sunda penguasa Banten bergelar “Samiam” dengan Henrique Lem utusan Gubernur Portugis di Malaka Jorge d’Albuquerque.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan