Potret Pengungsi di Zumlat Amir Ghazi

Bocah Anak Pengungsi yang Curiga saat Tim Datang.-screnshot-

SETELAH seharian menemani pengungsi Palestina yang berada di kawasan distrik Zarkho, terutama pendampingan trauma healing pada anak-anak dan lokasinya yang tak jauh dari kota Amman.

-----------------

HARI selasa siang, tanggal 27 Maret 2025 kami melanjutkan perjalanan ke pinggiran kota perbatasan dari arah utara Palestina-Syiria.

Wilayah itu berjarak kurang lebih 100-an KM dari Kota Amman Yordan, dan memakan waktu sekitar dua jam setengah apabila ditempuh dengan lancar oleh kendaraan roda empat.

Suatu wilayah di tengah gurun sahara, berbatu cadas dan dipenuhi dengan ranting-ranting pohon kecil sebesar ibu jari yang sudah mengering akibat terik matahari yang menyengat di siang hari.

Tentu saja, sangat jauh dari kata layak, itulah kesan pertama ketika menyaksikan langsung kehidupan yang dialami para pengungsi.

Mereka tinggal di tenda-tenda yang tersusun dari potongan bener, kain seadanya dan terpal. Tidur hanya beralaskan tikar plastik dan bantal dari kain-kain rombeng yang digulung, berselimut dari potongan-potongan kain rombeng itu, seakan menambah penderitaan mereka di tengah masih berlangsungnya musim dingin.

Kawasan itu bernama Zumlat Amir Ghazi, di sekeompok gurun tandus ini dihuni kurang lebih 200 sampai 250 pengungsi, yg menempati kurang lebih 35 barak/tenda.

Jarak satu tenda dengan tenda yang lain bervariasi. Ukuran tendapun sekitar empat kali delapan dan dihuni antara tiga sampai lima keluarga.

Sementara kelompok tenda-tenda ratusan lainnya jaraknya sekitar dua kilometer dari tempat itu.

Hal yang menyesakkan dada langsung kami jumpai, saat kami menemui bocah umur sekitar 7 tahun yang seperti sangat ketakutan melihat kedatangan kami, selaku relawan.

Kami perhatikan wajahnya pucat pasi dan terlihat matanya begitu sayu, setelah kami dekati dan mengajaknya ngobrol, matanya hanya menatap kosong ke arah kami.

Baru setelah sekian menit kami mengerti ketika dia mengatakan dengan bibir sedikit bergetar: "Apakah kalian tentara yang menghancurkam rumah kami?"

Saat kata itu keluar terbata-bata dari bibir mungil itulah, kami menyadari, kalau bocah yang bernama Abud (Abdullah) ini amat ketakutan melihat kami, sebab baju yang kami pakai memang batik yang mirip seragam Banser, maka wajar dia menganggap kami seorang tentara.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan