Maaf Lahir “Belum” Bathin

Ahmadi Sopyan-screnshot-

Oleh: AHMADI SOFYAN

Pemerhati Sosial Budaya

 

MOHON maaf lahir bathin begitu mudah disebarkan, sudahkah hati demikian? Jangan-jangan kita ini masih masuk golongan manis di mulut beda pula yang di hati? Benarkah maaf lahir bathin itu permanen atau temporer?

-----------

“MINAL aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir bathin” umumnya begitu untaian kalimat yang bertebaran di spanduk dan baliho sepanjang jalan, media massa, kartu ucapan, media elektronik, facebook, twitter, WA, Instagram, Youtube dan sebagainya. Ada pula kalimat pembukanya adalah kalimat penderita stroke: “Kalau tangan tak mampu berjabat, mulut tak mampu terucap, bla… bla… bla…”. Untaian kalimat terucap indah dengan rangkaian yang bukan dibuat sendiri itu begitu mudah kita obralkan melebihi murahnya barang murahan. Positifnya, dunia ini langsung terasa keindahan dan kedamaiannya, penuh cinta dan kasih sayang saling memaafkan ketika Idul Fitri menjelang. 

Dasar saya ini tukang mantau dan suka mencerna kalimat-kalimat alias tata bahasa, “maaf lahir bathin” di hari lebaran itu ternyata terlalu life service warga negara Indonesia. Maafkan saya ya, maklumlah orang iseng seperti saya ini suka merenung sesuatu yang “nggak penting”, (karena yang penting-penting sudah direnungkan oleh orang penting). Pertanyaan dari renungan itu adalah: Apa benar, kita ini benar-benar dari hati memaafkan orang yang menyakiti hati kita dan siap memulai dari nol atau lembaran putih bersih lagi dengan prinsip a new beginning, a new chapter?. Apa benar “maaf lahir bathin” itu permanen bukan temporer? Apa benar lahir dan bathin? Jangan-jangan hanya lahir saja, sedangkan bathin-nya tidak?

Menjelang Idul Fitri seperti ini, kita menerima permohonan maaf dari segala penjuru mata angin, bukan saja dari orang yang kita kenal, tapi juga yang tidak dikenal sekalipun. Ucapan melalui media baik elektronik maupun massa kerapkali tanpa makna, karena memang semuanya seragam dan cenderung sekedar kalimat basa-basi. Maksudnya, permohonan maaf tersebut lebih cenderung hanya berfungsi dan bermakna lahir saja, bahkan jangan-jangan kita sendiri tidak tahu dengan apa yang kita ucapkan tersebut yang mengatasnamakan dan menampilkan wajah kita, karena memang ditulis atau dibikin oleh orang lain. Akhirnya, orang-orang kreatif dalam bisnis pun mampu meraup keuntungan besar hingga milyaran rupiah dari “maaf lahir bathin” ini dengan menjual kartu ucapan, baliho, spanduk, iklan, parcel, bunga, dan sebagainya. 

Kalau mau serius mengucapkan “maaf lahir bathin”, sekali-kali coba kita renungkan sejenak, absenkan daftar nama-nama orang yang membuat kita harus merasa sewot, sebel, benci, bahkan jangankan ngeliat tampangnya, mendengar namanya saja bisa membuat perut mual bahkan muntah alias “gelik yok”. Apa benar ucapan “maaf lahir bathin” di hari fitri ini dapat merubah sewot menjadi senyum, sebel menjadi senang, benci menjadi suka dan setiap mendengar namanya kita ucapkan salam dan do’a?

Rasa-rasanya, obral murah meriah “maaf lahir bathin” di hari fitri semakin membuat ia tak lagi berharga. Karena rasa benci, dendam dan hal-hal negatif lainnya masih bercokol dalam hati dan pikiran kita. Padahal baru saja kita mengirim dengan mengobral dan menerima puluhan SMS, ratusan WA, IG, Facebook bahkan ada pula yang mengirim berbentuk parcel yang didalamnya ada kartu ucapan, juga ucapan secara langsung kala tamu berdatangan. Kok bisa begitu? 

“Maaf lahir bathin” begitu terasa mahal dan fantastis adalah ketika kita berani mengirimkan parcel, SMS, WA, IG atau kartu ucapan yang kita rangkai katanya dari lubuk hati yang paling dalam, atau datang langsung kepada orang-orang yang pernah kita sakiti atau saling menyakiti. Umumnya, jangankan ucapan selamat yang menghabiskan pulsa beberapa rupiah atau mengirim parcel, SMS atau WA gratis saja kayaknya ogah.

Padahal persoalan maaf dan memaafkan adalah persoalan serius. Saking seriusnya, pada tahun 1994, Dr. Robert Enright telah mendirikan sebuah Institut khusus guna meneliti tentang “maaf dan memaafkan”. Dari hasil penelitian Mas Robert ini, ternyata didapati bahwa maaf dan memaafkan itu adalah obat yang manjur karena bisa menghilangkan strees dan beban akibat luka bathin. Oleh Mas Robert ini hasil penelitian tersebut dituangkan ke dalam bukunya yang berjudul “Exploring Forgiveness”. Hasil yang sama juga diutarakan oleh Filsof Prancis, Mas Paul Ricoeur dalam artikelnya di majalah Esprit yang berjudul “Le Pardon, Peut – il guerir” (Apakah memaafkan Dapat Menyembuhkan?”

Kalau kita mau jujur, dengan memaknai “maaf lahir bathin”, persoalan maaf dan memaafkan bukanlah perkara gampang. Karena dengan itu kita harus bersedia menguras dan mencuci bersih seluruh arsip kotor dari kesalahan-kesalahan orang yang kita maafkan, jadi bukan hanya sekedar di bibir saja, melainkan harus dikorek habis sampai ke sudut bagian yang paling dalam dari bathin kita. Kejujuran dan kerelaan hati untuk memaafkan, merupakan terapi psikologis yang sangat ampuh bagi setiap orang yang melakukannya. Dengan maaf lahir bathin yang tulus insya Allah akan lepas dan hilangnya dosa-dosa diantara keduanya, hati pun damai, tenang dan tentram, walau berlebaran tidak dengan baju baru dan kue mewah serta pernak-pernik duniawi lainnya.

Kalau sudah terucap “maaf lahir bathin” artinya secara lahir perubahan dalam bahasa fisik harus terjadi (change of action). Dari muka cemberut, bibir mencibir, pandangan merendahkan, berganti dengan senyum keikhlasan, sapa,salam dan jalinan silaturrahim seperti semula tanpa ada lagi beban persoalan yang mengganjal dalam pikiran (change of mind). 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan