Tuhan Pun Berpuasa
Ahmadi Sopyan-screnshot-
Oleh: AHMADI SOFYAN
Pemerhati Sosial Budaya
“TUHAN sendiri “berpuasa”. Kalau tidak, kita sudah dilenyapkan oleh-Nya, karena sangat banyak alasan rasional untuk itu”.
(Emha Ainun Nadjib)
-----------
SEKALI-KALI perlu kita luangkan waktu untuk bercermin walau sejenak. Bercermin bukan sekedar untuk melihat penampilan diri biar kelihatan menarik (tampan atau cantik) lantas pergi “show” agar dilihat orang. Tapi bercermin yang saya maksud di sini adalah bagaimana kita menatap wajah, badan, busana, dan seluruh penampilan yang melekat pada diri kita untuk menyadari tentang kehidupan.
Misalnya, kita bisa menyadari satu hal kecil saja: bahwa potongan rambut, jenis dan warna pakaian, serta seluruh benda yang menempel di badan, semuanya ternyata sesuatu yang kita pilih sebagai kesenangan belaka. Jika sempat, coba juga kita pandangi setiap sisi ruang di dalam rumah kita. Perhatikan perabotan, bendar-benda, barang dan hiasan yang memperindah penampilan rumah serta kendaraan. Coba luangkan kesadaran, apakah semua itu kita pilih dan kita beli berdasarkan kesenangan?
Jika masih sempat lagi, coba kita hitung perjalanan hidup kita masing-masing, seberapa besar peran kesenangan dalam kehidupan yang kita jalani selama ini? berapa peresentase ketidaksenangan? Kemudian, renungkan bagaimana sikap bathin, pikiran dan jiwa kita terhadap kesenangan dan ketidaksenangan itu?
Renungan ini menurut Emha Ainun Nadjib akan mengantarkan kita pada kenyataan bahwa seberapa jauh kita terikat pada kesenangan pribadi serta seberapa jauh kita cenderung menolak ketidaksenangan hati. Apakah kita menjadi guru, atlit, PNS, penulis, pengusaha, pedagang, pejabat, hakim, polisi, TNI, mubaligh dan sebagainya karena kita menyenanginya? Apakah kita melakukan sholat dan puasa karena menyenanginya? Selanjutnya, apakah kita meninggalkan dunia karena kita menyenanginya?
Pertanyaan selanjutnya, apakah Kanjeng Nabi Muhammad SAW menjadi utusan Allah karena beliau menyenangi perannya? Apakah beliau berangkat ke medan perang karena menyukai atau hobi perang? Apakah kala beliau berdakwah dilempari batu di Thaif karena menyenangi dakwah dan suka dilempari batu? Apakah setiap pergi sholat Subuh beliau diludahi orang karena memang suka diludahi? Apakah beliau menikahi janda yang tidak cantik apalagi jelita karena beliau menyenangi janda?
Nah, sebenarnya dari sini yang ingin saya sampaikan adalah sebuah hakikat nilai. Pertanyaan dasarnya adalah: “Apakah kita hidup dan melaksanakannya berdasarkan senang dan tidak senang? Ataukah ada nilai lain yang lebih mendasar?”. Apabila kita menggerakkan tangan dan melangkahkan kaki dan membeli atau mendapatkan sesuatu, hanya karena dorongan senang dan tidak senang, maka kita masih dalam kategori bayi yang berwujud manusia dewasa. Bayi menangis, tertawa, bermain, makan, minum dan beraktivitas semata karena didorong oleh kesenangan. Untuk melakukan kesenangan tidak memerlukan kwalitas dan mutu kepribadian, kecuali ketika kesenangan itu memerlukan teknologi, ilmu dan bakat. Namun dengan itu, kita belum masuk pada kategori manusia pejuang. Sebab, perjuangan sering mengharuskan kita untuk melakukan hal yang belum tentu bahkan tidak kita senangi, seperti halnya puasa yang mengharuskan menahan lapar dan haus.