Hamba Rabbani atau Hamba Ramadan?

--

Penulis Direktur GTK Madrasah, Kemenag RI

MAHABAN ya Ramadhan. Hampir semua muslim menyambutnya dengan gegap gempita. Setidaknya senyum karena banyak momentum yang akan dilewati. Harapan menikmati hidangan berbuka akan dilewati. Atau bisa shalat taraweh berjamaah dengan semangat kebersamaan.

Ya. Ramadan datang memang dengan sejuta janji. Pahala berlipat, ampunan terbuka lebar, dan doa lebih mustajab. Seakan ada "diskon besar-besaran" untuk amal saleh. Masjid penuh, Al-Qur’an lebih sering dibaca, sedekah mengalir deras. Aktifitas ritual tampak begitu bersemangat.

Namun, ada satu pertanyaan mendasar: Apakah semua ini dilakukan karena kecintaan kepada Allah, atau hanya karena Ramadan datang dengan berbagai keistimewaannya? Apakah kita ini hamba Rabbani yang beribadah sepanjang tahun, atau hamba Ramadan yang semangat ibadahnya musiman?

Belum lagi jika Ramadan diikuti dengan event-event ekonomi dan politik. Nuansa dunia "dompleng" nuansa akhirat. Apakah salah? Tidak! "Halal" kata orang Arab. Sah-sah saja kata ahli fikih. Karena Ramadhan sangat terbuka bagi siapapun untuk menikmati kemuliaannya. Ramadhan for all!

Bagaimana dengan ibadah kita? Setifaknya ada dua cara seseorang menjalani ibadah. Yang pertama adalah pendekatan kalkulatif: beribadah karena ada "keuntungan" pahala. Puasa karena dosa dihapus. Sedekah karena ingin rezeki berlipat. Shalat malam karena ingin doa dikabulkan. Semua itu baik, tapi apakah itu level tertinggi dari ibadah?

Tidak. Level tertinggi dari ibadah adalah cinta. Seorang kekasih tidak memberi hadiah karena berharap imbalan. Ia memberi, karena cinta. Meminjam Gus Baha, orang yang mecintai tidak akan tersinggung terhadap perilaku buruk orang yang dicintai. Begitu pula dengan hamba Rabbani—ia beribadah bukan karena mengejar pahala semata, tetapi karena Allah adalah segalanya baginya.

Ramadan: Pintu Menuju Cinta
Ramadan seharusnya menjadi momentum transisi. Kita memanfaatkan "diskon pahala" bukan untuk menumpuk keuntungan, tapi untuk merasakan nikmatnya "taqarrub" (mendekatkan diri) kepada Allah. Jika setelah Ramadan semangat ibadah kita hilang, itu tanda bahwa kita belum benar-benar jatuh cinta kepada-Nya.

Bayangkan, seseorang yang mendapatkan kesempatan emas untuk mengenal seseorang yang sangat ia kagumi. Awalnya, ia tertarik karena ada kesempatan langka itu. Tapi setelah berinteraksi, ia semakin mengenal dan mencintai orang tersebut, sehingga setelah kesempatan itu berlalu, cintanya tetap tumbuh. Seharusnya begitu pula dengan Ramadan.

Ramadan bukan puncak ibadah, melainkan "momentum antara". Yang sejati adalah keberlanjutannya. Seorang hamba Rabbani tidak berhenti beribadah hanya karena Ramadhan telah usai.

Tentu, hamba Rabbani tidak menunggu Ramadan untuk dekat dengan Allah. Ia tak butuh "diskon pahala" untuk rajin salat malam. Baginya, ibadah adalah nafas kehidupan, bukan beban atau kewajiban yang menanti imbalan. Karena, ibadah adalah makanan spiritual yang harus dilakukan. Kapan pun. Dimana pun.

Jika kita hanya bersemangat di bulan Ramadan, itu tanda bahwa kita masih menjadi hamba Ramadhan. Tapi jika semangat itu berlanjut, kita telah melangkah menuju hakikat tertinggi dari penghambaan: cinta kepada Allah tanpa syarat.

Maka, setelah Ramadan berlalu, tanyakan pada diri sendiri: Apakah aku masih bersimpuh dalam sujud dengan penuh rindu? Apakah aku masih melantunkan Al-Qur’an dengan hati yang berbunga? Apakah aku masih merasakan nikmatnya berzikir?

Jika ya, selamat. Kita telah menjadi hamba Rabbani. Jika tidak, saatnya kita menata diri. Mumpung masih di awal Ramadan.(Sumber: https://kemenag.go.id/)

Tag
Share