BOEN ASIONG DI BELO (BELOEH)
Elvian--
Pada masa Rangga Usman berkuasa di Mentok, berkuasa pula seorang Cina bernama Oen Asing atau Boen Asiong, yang karena keahliannya dalam pertimahan dan dekat dengan Rangga Usman diangkat menjadi Kapitan Cina, menggantikan Coeng Hoeyoet (Soejitno, 2011:150). Seiring dengan perkembangan Kota Mentok dan perkembanga pertambangan Timah, kejahatan di bidang pertambangan Timah pun terjadi. Persaingan pengelolaan pertambangan Timah terjadi antara orang dari Siam dibantu orang Palembang dengan orang Cina di wilayah Beluh (Belo), yang menimbulkan korban besar di dua pihak dan menyebabkan Satu aliran sungai menjadi busuk karena bangkai orang yang mati berkelahi, sehingga aik atau anak sungai tersebut dikenal dengan sebutan Aik Seboesoek. Keributan dapat diatasi oleh Manteri Rangga Usman dan setelah diselidiki terbongkarlah kejahatan berupa praktek curang pertimahan yang dilakukan Boen Asiong, yaitu menyelundupkan atau menjual Timah tidak kepada sultan akan tetapi menjualnya ke wangkang-wangkang Cina yang merapat di pelabuhan tersembunyi yang aman dekat Mentok. Setelah kejahatannya terbongkar, Boen Asiong ditangkap oleh Rangga Usman dan di kirim ke sultan Palembang untuk diadili. Boen Asiong dijatuhi hukuman mati, seluruh hartanya dirampas, akan tetapi karena Boen Asiong sangat kaya, banyak Manteri-Manteri di Kesultanan Palembang yang menolongnya, dan hukuman matinya pun gagal dilakukan, akan tetapi dihukum seluruh hartanya disita dan Boen Asiong dibuang ke wilayah Huluan Palembang di dusun Belid dekat Muarabeliti.
BACA JUGA:BATU BERANI DAN BIJIH BESI DI PAKUK
Menurut F.S.A. De Clereq dalam bukunya “Bijdrage Tot De Geschiedenis van Het Eiland Bangka (Naar een Maleisch Handschrift)”, dalam Bijdragen Tot De Taal, Land, En Volkenkunde in Netherlands Indie (BKI), 1895, menyatakan: “Met de voortgezette ontginning van nieuwe mijnen werd het aantal inwoners van Muntok grooter en waren er onder de Chineezen velen, die heimelijk tin stalen. Een zekere Chinees, met name Oen Asing, was daardoor zeer rijk geworden, daar hij het gestolen tin verkocht aan de wangkang's, die Muntok aandeden. Op zekeren tijd ontstond hierover twist tusschen de Chineezen, Sijameezen en Palembangers, die in de mijnen te Beloeh werkten. Velen warden gedood en hunne lijken geworpen in de rivier Semboesoek Aldus de schuld van Oen Asing gebleken zijnde, liet de Rangga hem gevangen nemen en naar Palembang brengen, waar de Sultan hem ter dood veroordeelde. Wegens zijn rijkdom werd hij echter door vele Mantri's te Palembang geholpen en ontging de doodstraf, maar zijn eigendommen werden verbeurd verklaard en hij zelf verbannen naar de doesoen Belid, van waar hij niet naar Bangka mocht terugkeeren” (Clereq, 1895: 144-145). Maksudnya kira-kira: “Dengan terus dieksploitasinya tambang-tambang baru, hal itu terjadi jumlah penduduk Muntok bertambah dan termasuk golongan Tionghoa, banyak yang diam-diam mencuri timah.
Khususnya orang Tionghoa bernama Oen Asing, Ia menjadi kaya raya karenanya, karena Ia mencurinya menjual timah kepada para wangkang yang berkunjung ke Muntok, di sisi yang aman. Seiring berjalannya waktu timbul perselisihan mengenai hal ini antara orang Tionghoa, Sijam dan warga Palembang yang bekerja di pertambangan di Beloeh. Banyak yang menjadi dibunuh dan jasadnya dibuang ke sungai Semboesuk. Demikian kesalahan Oen Asing sudah ketahuan, maka Rangga pun meninggalkannya, tangkap dia dan bawa dia ke Palembang, di mana Sultan membawanya dihukum mati. Namun karena kekayaannya ia dicintai banyak orang Manteri di Palembang ikut membantu dan lolos dari hukuman mati, tapi miliknya harta bendanya disita dan dia sendiri diasingkan ke sana di doesoen Belid, dari situ dia tidak diperbolehkan kembali ke Bangka”. Menurut Heidhues (2008:14), Oen Asing atau Boen Asiong kemudian kembali lagi ke Bangka atas permohonan orang Bangka dan sultan membebaninya dengan pekerjaan membangun sebuah Benteng di Mentok dan sebuah gudang di Beluh (Belo) serta menamakannya Kapitan Cina, Kapten bagi orang-orang Tionghoa.
BACA JUGA:RIMBAK, REBAK, PEMITAK, KUBAK, BEBAK DAN KELEKAK (Bagian Delapan)
Belo atau Beloeh terletak di pesisir Barat Pulau Bangka, sekitar 8 (Delapan) mil arah ke Timur dari Mentok. Dalam peta Het Eiland Banka, 1910 (and) De Rivier van Palembang 1821, dari Mentok ke Belo terhubung dengan jalan setapak melalui kampung Tanjoeng, Teloekroebiah, melewati sungai Pait, Ranggam dan sampai ke Belo (Beloeh). Pada kampung Belo terdapat sungai Belo yang alirannya terletak antara sungai Sebusuk dan sungai Masar. Setelah pertambangan dibuka di Mentok kemudia tambang dibuka di Belo, pertambangan selanjutnya dibuka di Panji dekat Belinyu. Panji merupakan kampung tua, disana terdapat kelenteng dan sisa bangunan Benteng dan makam kapitan Cina Bong Kiong Hu atau Bong Kap, Tahun 1795. Benteng diperkirakan hancur pada Tahun 1850 (Lange, 1850: 16,17). Penambangan Timah selanjutnya di pulau Bangka adalah di wilayah Tempilang (Tanpi). Boen Asiong mengelola pertambangan di Mentok dan Belo (Beloeh) dengan melakukan pembaharuan di bidang pertambangan. Beberpa pembaharuan yang dilakukan Boen Asiong adalah mempekerjakan orang yang mengerti pertambangan Timah, memperkenalkan teknologi baru yaitu Teknologi Kulit dengan penggunaan tekhnologi pompa air chinchia dan roda air atau chiacaw serta penataan penggunaan air secara tepat, melakukan peleburan (puput) balok Timah dengan ukuran yang jelas dan terstandar. Pada masa kekuasaan Sultan Muhammad Bahaudin (Tahun 1776-1803) sudah dicetak Picis Timah yang dibuat oleh kongsi Manao, Belo/Beloeh.
Berdasarkan ekspedisi Pemerintah Hindia Belanda ke Pulau Bangka yang dimulai pada 18 Juli 1803 sebagaimana dikutip Marihandono, dkk. (2019;209-210), bahwa dalam ekspedisi pemerintah Hindia Belanda yang mengikutsertakan beberapa kapal perang antara lain kapal perang Maria Rijgersbergen bersama dengan kapal-kapal layar eks VOC Maria Jacoba dan Beschermer dan dengan menggunakan beberapa kapal perang serta dikawal oleh beberapa kapal jenis panjajab, pada Tanggal 17 Agustus 1803 komandan ekspedisi yang menaiki kapal perang Maria Rygersbergen menuju ke Bangka. Selanjutnya pada Tanggal 19 Agustus 1803 ekspedisi tiba di pulau Bangka. Dari hasil pengamatan diketahui, bahwa terdapat teko atau tiko dan Nyai Demang Jaya Layana/Jaya Laksana, teko atau tiko putra mahkota di distrik Belo/Beloeh, di mana hanya ada Satu tambang Timah yang dikerjakan oleh 18 orang kuli Cina. Selanjutnya dilaporkan, bahwa wilayah Klabat memiliki Empat tambang Timah dan di sana bekerja 70 orang Cina.
Layang memiliki Empat tambang Timah dengan 21 orang kuli Cina. Songie Liat memiliki 5 tambang Timah dan di sana terdapat 45 orang kuli Cina dan Pankal Pinang yang memiliki 7 tambang Timah yang mempekerjakan 35 pekerja Cina. Menurut Harsono (2017, 41) Demang Djaya Laksana/ Jaya Layana adalah anak dari Oen Asing atau Boen Asiong.***