Membongkar Praktik Buruk Layanan Surat Keterangan Tanah

--

Oleh Kgs. Chris Fither
Asisten Ombudsman RI Perwakilan Kepulauan Bangka Belitung

Beberapa waktu yang lalu, masyarakat Bangka Belitung sempat dihebohkan dengan adanya oknum camat yang menjadi tersangka kasus dugaan pungli dalam layanan surat keterangan tanah di tingkat kecamatan. Publik sebenarnya sudah banyak mengetahui banyaknya praktik pungli dalam pembuatan SKT di kecamatan.

Tak hanya di kecamatan, juga lazim diketahui bahwa praktik serupa juga terjadi dilingkungan pemerintah desa dan kelurahan. Tentunya tindakan pungli yang dilakukan oknum tersebut tidak dapat dibenarkan. Tapi penulis ingin mengajak kita untuk berperilaku adil. Bisa jadi praktik pungli tersebut terjadi karena adanya alasan yang sistemik.

Sebenarnya penulis tidak begitu tertarik dalam mengomentari kasus hukum yang terjadi. Bagaimanapun upaya penegakan hukum harus berjalan dan dihormati. Tapi, ada hal yang sepertinya perlu dibahas lebih dalam. Tidak hanya berbicara pada sudut pandang yang sempit (perilaku pungli oknum), tapi harusnya kita sudah semakin peka dan merumuskan hal-hal konkret terkait sistem layanan tersebut.

Bisa jadi selain integritas pelaksana layanan yang lemah, ada sistem yang rusak dalam layanan tersebut. Dan yang menjadi parahnya, respons pimpinan daerahnya tidak melihat dalam skala yang lebih luas. Alih-alih menginstruksikan perangkat daerah untuk melakukan langkah-langkah perbaikan yang terukur, kejadian oknum camat yang menjadi tersangka kasus pungli tersebut hanya dijadikan sebagai bahan pembelajaran bagi pejabat lain.

Terdengar klise, tapi dalam konteks pelayanan publik harusnya ada evaluasi layanan. Bukan hanya terkesan menyerahkan sepenuhnya pada upaya penegakan hukum.

Mengenal Layanan Surat Keterangan Tanah
Pertama, harus diakui bahwa tidak ada definisi baku atas layanan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang diselenggarakan di lingkungan pemerintah desa, kelurahan, dan kecamatan.

Kedua, pelayanan SKT adalah surat pernyataan yang dibuat oleh pengelola lahan. Dan ketiga, masyarakat pun harus tahu bahwa layanan SKT tersebut juga bukanlah produk layanan resmi. Karena bukan produk resmi, makanya untuk penamaan layanan SKT di beberapa daerah berbeda-beda.

Ada yang menyebutnya dengan Surat Keterangan Hak Usaha Atas Tanah (SKHUAT), atau Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bangunan dan Tanah (SPPFBT), bahkan ada juga yang menyebutnya sebagai Surat Pernyataan Pengakuan Penguasaan Fisik Atas Tanah (SP3FAT).

Lalu, apa sebenarnya SKT itu? Secara sederhana, SKT dapat diartikan sebagai suatu surat pernyataan yang dibuat oleh masyarakat untuk mengakui pengelolaan lahan di suatu wilayah yang nantinya akan digunakan sebagai alas hak dalam proses sertifikasi lahan.

Namun ada poin krusial yang harus diperhatikan. SKT bukanlah bukti kepemilikan lahan. Jadi jangan juga dipandang dalam proses pemilikan suatu lahan, dokumen administrasi tanah cukup dengan SKT. Bukti kepemilikan lahan (perorangan) yang sah dan diakui negara adalah sertifikat hak milik (SHM) bukan SKT.

Dalam praktiknya, proses layanan SKT di pemerintah desa, kelurahan dan kecamatan sangat banyak diminati oleh masyarakat. Dalam kajian Ombudsman Babel tentang layanan SPPFBT di Kabupaten Bangka pada tahun 2018, layanan yang diberikan bisa mencapai ratusan permohonan per tahun.

Celakanya, permohonan yang banyak tersebut tidak dibarengi dengan sistem layanan yang baik. Banyak sekali catatan buruknya. Misal, dalam layanan yang diberikan tidak tersedia standar operasional prosedur, pola layanan yang hanya berbasis pada kebiasaan, kepastian tarif/biaya dan waktu yang tidak jelas, tidak ada mekanisme pengawasan layanan yang ketat, petugas layanan yang tidak kompeten dan masih banyak sekali catatan buruknya. Tapi yang cukup fatal adalah ketiadaan SOP dalam layanan SKT.

Padahal menurut Setiawati dalam Baharudinsyah (2016), fungsi SOP adalah untuk membentuk sistem kerja dan aliran kerja yang runtut, terstruktur, dan dapat  dipertanggungjawabkan.

Catatan Krusial Ombudsman Babel
Berdasarkan data Ombudsman Babel, pengaduan substansi agraria adalah salah satu substansi aduan yang tertinggi dilaporkan selain substansi infrastruktur/perhubungan. Tercatat sejak tahun 2014 s.d. 2024, sudah ada 416 aduan yang diterima Ombudsman Babel.

Pokok masalah yang diadukan memang beragam, misal aduan terkait layanan PTSL, aduan layanan seputar objek tanah dan aduan layanan SKT. Dan menariknya, terkhusus untuk aduan layanan SKT, pola pengaduannya cenderung sama dan berulang. Pengaduan yang diterima dominasinya terkait dengan dugaan pungli yang dilakukan oleh oknum pemerintah desa, kelurahan dan kecamatan.

Selanjutnya dalam kacamata pengawasan (berbasis aduan masyarakat) yang dilakukan Ombudsman, ada 4 identifikasi permasalahan krusial dan berulang terkait pelayanan SKT yanh diselenggarakan oleh Pemerintah Desa, Kelurahan dan Kecamatan. Pertama, tidak ada standar pelayanan yang jelas permohonan surat tanah. Kedua, tidak adanya penyelesaian yang jelas atas layanan yang diberikan.

Ketiga, instrumen pengawasan internal yang belum padu dan maksimal. Keempat, minimnya pemahaman penyelanggara tentang pelayanan yang diberikan. dan Kelima, permintaan biaya tanpa ada dasar yang jelas dan masyarakat/penyelenggara masih memaklumi gratifikasi.

Kemudian dari dugaan maladministrasi yang dilaporkan dalam layanan SKT, tercatat sekurang-kurangnya ada 6 dugaan maladministrasi yang sering diadukan masyarakat. Dugaan maladministrasi seperti perilaku atau perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, penundaan berlarut, tidak memberikan pelayanan, penyimpangan prosedur dan permintaan  imbalan adalah dugaan yang paling sering dan berpotensi terus dilaporkan.

Terkhusus dugaan maladministrasi dalam bentuk permintaan  imbalan (pungli), hampir setiap tahun Ombudsman Babel menerima laporan berkaitan dengan adanya permintaan imbalan dalam pembuatan SKT yang dilakukan oleh oknum pelaksana di pemerintah desa, kelurahan dan kecamatan. Bahkan oknum camat yang beberapa waktu lalu ditetapkan sebagai tersangka kasus pungli, pernah juga dilaporkan oleh masyarakat kalau ada permintaan uang atas layanan SKT yang diberikan.

Berikutnya, melihat data kajian cepat yang dilakukan Ombudsman Babel pada tahun 2017 dan 2018 serta data laporan pengaduan masyarakat, ada beberapa modus permintaan imbalan (pungli) dan fakta-fakta potret buruk pelayanan SKT. Modus pungli yang paling banyak dilaporkan adalah dengan alasan untuk melakukan pengukuran lapangan, petugas seringkali membahasan uang transport sukarela, uang yang dipungut akan digunakan untuk diserahkan ke pimpinan, tidak adanya anggaran layanan, dan uang pungutan akan digunakan untuk kepentingan administrasi.

Lalu, bagaimana dengan nominal pungutannya? Jawabannya beragam, ada yang permintaan uangnya sukarela berkisar diantara Rp100.000 s.d. Rp200.000. Ada pula yang tarif minimalnya dipungut sekitar Rp500.000 s.d. Rp800.000. Dan bahkan ada di suatu pemerintah desa yang bisa menerbitkan SKT dalam waktu 1 hari jadi dengan biaya sebesar Rp5.000.000.

Menyikapi semakin seriusnya permasalahan pungli dalam layanan SKT tersebut, Ombudsman Babel pun telah melakukan serangkaian upaya tindak lanjut baik dalam tahapan pencegahan dan penyelesaian laporan. Jika berbicara penyelesaian laporan, jika memang terbukti ada oknum yang melakukan pungli, Ombudsman selalu meminta tindakan tegas berupa pembinaan sesuai disiplin pegawai kepada Kepala Daerah.

Namun masih saja sering dijumpai permasalahan yang berulang. Oleh karena itu pada November 2024 yang lalu, Ombudsman Babel menggelar Diskusi Tematik Pelayanan SKT Di Desa/Kelurahan/Kecamatan Tanpa Pungutan Liar, Gratifikasi Dan Maladministrasi.

Kegiatan diskusi yang melibatkan narasumber dari Direktorat Gratifikasi dan Pelayanan Publik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Tinggi Kepulauan Bangka Belitung diikuti oleh perwakilan Apdesi, Camat, Lurah dan Kepala Desa se-Babel. Namun pada akhirnya upaya tersebut juga masih belum cukup untuk memperbaiki borok layanan SKT. Masih saja ada praktik-praktik pungli dan gratifikasi di layanan SKT.

Menguji Komitmen Kepala Daerah
Secara kelembagaan, Ombudsman Babel sebenarnya sudah memberikan serangkaian dorongan perbaikan terkait layanan SKT, pertama perlu pengaturan jelas untuk kepastian layanan masyarakat dengan menyusun instrumen dasar hukum yang jelas atas layanan yang diberikan.

Kedua, penguatan Integritas Pejabat dan petugas layanan dengan bersikap tegas menolak suap dan gratifikasi karena akan menjadi benih korupsi. Ketiga, Penguatan pengawasan APIP dengan cara optimalisasi pengawasan Inspektorat daerah sebagai APIP agar pejabat di pemerintah daerah memahami pelaksanaan tugas harus sesuai peraturan per-UU-an. dan Keempat, optimalisasi pengaduan internal di unit-unit layanan agar layanan yang dikeluhkan dapat dievaluasi secara mandiri.

Melihat beberapa opsi dorongan perbaikan di atas dan banyaknya praktik buruk dalam layanan SKT. Harusnya setiap Kepala Daerah di Bangka Belitung berbenah. Strategi pemberian layanan yang efektif dan akuntabel harus bisa diwujudkan.

Banyak hal yang bisa dilakukan, mulai dari melakukan identifikasi permasalahan secara holistik, menyusun standar pelayanan dan peningkatan peran pengawas internal. Tapi faktanya, harus diakui bahwa tidak banyak kepala daerah selaku penanggung jawab pelayanan publik menaruh perhatian untuk layanan SKT.

Lihat saja, dari 7 kabupaten/kota di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung hanya Kabupaten Bangka yang memiliki regulasi serupa berkaitan layanan SKT dengan menerbitkan Perda Kabupaten Bangka Nomor 10 Tahun 2014 tentang Izin Membuka Tanah Negara. Walaupun regulasi tersebut tidak dapat diterapkan karena beberapa pertimbangan teknis, paling tidak sudah ada kesungguhan untuk menata layanan tanah di Kabupaten Bangka. Lalu bagaimana dengan kabupaten/kota yang lain? Apa yang sudah dilakukan untuk membenahi layanan SKT?

Terlepas dari ada atau tidak adanya regulasi di daerah, pengorganisasian layanan SKT di Pemerintah Desa, Kelurahan dan Kecamatan harus secara sungguh-sungguh diatur. Segera lakukan evaluasi, penyusunan standar layanan dan penyediaan anggaran. Dengan begitu penulis meyakini secara kelembagaan potensi pelanggaran atau pungli dalam layanan SKT bisa diminimalisasi .

Di sisi lainnya, dengan ada pengaturan yang tegas tentang SKT akan ada semacam perlindungan layanan kepada masyarakat dan pelaksana layanan. Bukan terkesan kucing-kucingan dalam memberikan layanan SK.

Selanjutnya bagaimana? Mari kita menunggu langkah konkret dari masing-masing kepala daerah. Semoga ada perbaikan dan perlindungan layanan bagi masyarakat dan setiap pelaksana layanan di Pemerintah Desa, Kelurahan dan Kecamatan ketika memberikan layanan SKT. **




Tag
Share