BATIN OELIN DAN KAMPUNG PARIS

Elvian--

Martinus Nijhoff, 1917, hlm. 35). Sultan Palembang Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago pada Tahun 1709 membuat ketentuan, bahwa mereka yang kawin (pribumi Bangka) harus menyerahkan 10 kilogram Timah pada Sultan, sebagai tanda tunduk dan patuh (Sujitno, 1996:59). Pembayaran pajak dengan menggunakan barang seperti Timah disebut dengan sistem Tiban. Pajak Timah ini pada masa Sultan Ahmad Najamuddin I Adikesumo ( memerintah Tahun 1757-1776 Masehi) diwajibkan kepada Pribumi Bangka seberat 50 Kati (1 Kati=6 ¼ ons). Sejak masa ini, Timah mulai menjadi sumber penghasilan utama dan sumber kekayaan bagi Kesutanan Palembang Darussalam di samping Lada. Pada Tahun 1642 Masehi masa Kerajaan Palembang diperintah Pangeran Sedo ing Kenayan, kerajaan Palembang telah mengadakan ikatan perjanjian perdagangan Lada dengan VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) di Batavia dan pada Tahun 1710 Masehi, ikatan perjanjian Lada tersebut kemudian diperbaharui pemerintah Hindia Belanda dengan perdagangan Timah (Alfiah, dkk, 1983/1984:28). Pada Tahun 1722, tercapai kesepakatan antara kongsi dagang Belanda VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) dengan Sultan Ratu Anum Kamaruddin dari Palembang terkait monopoli penjualan Timah. Kesepakatan ini membuka pintu lebih lebar bagi Belanda untuk memborong Timah dari wilayah-wilayah di Bangka, termasuk Toboali (ANRI, Laporan K. Heynis, Residen Bangka dan Palembang kepada Comissarissen mengenai distrik Blinjoe, Soengi Liat, Marawang dan Pankal Pinang Tahun 1818).

Eksplorasi dan penelitian biji Timah di sungai Bangkakota dan sungai Oelin kemudian diperluas wilayahnya ke sungai-sungai di sekitarnya seperti sungai Nyire, sungai Gosong, sungai Tagak dan sungai Kepoh oleh Wan Akub dan Wan Seren dibantu para patih dan batin pribumi Bangka yang berkuasa di daerahnya. Penelitian dilakukan atas perintah Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikromo yang singgah di Bangkakota (sekitar Tiga bulan) untuk mempersiapkan peralatan perang dan memperbaiki kapalnya (18 kapal milik Sultan dan 40 kapal milik Daeng Berani) sebelum menyerang pusat kekuasaan Kesultanan Palembang. Kemudian dari itu maka ratu Mahmud Badaruddinpun berangkat di dalam Hijrah an-Nabi salla ‘Illahu ‘alaihi wa-sallama as-sanat 1127 dan tahun Holanda 1717 (Wieringa, 1990:82). Pengelolaan Timah di sungai Oelin dan sungai-sungai di sekitarnya di wilayah Bangka Selatan kemudian diserahkan kepada Wan Seren dan anaknya Wan Adji atau Tuk Adji. 

BACA JUGA: PATEH SINGA PANDJANG DJONGOR

Pada wilayah Batin Oelin terdapat Duabelas kampung dan salah satu kampung yang unik namanya di Batin Oelin adalah Kampung Paris. Kampung Paris secara geografis terletak di kawasan Pesisir Barat pulau Bangka, terletak di sisi Barat Pulau Besar, Pulau Kecil atau Pulau Bedaun, Sungai Oelin dan Tanjung Batu. Dari Kampung Batu Betumpang ke kampung Paris terdapat jalan setapak menuju ke kampung Paris setelah menyeberangi jembatan kayu di muara sungai Oelin kemudian melewati Aik Koendil dan Aik Tanjung Layang. Pada sisi Barat Laut kampung Paris terdapat Kelekak Loeboek Boender dan Bukit Mentandoek (66,5 meter) dan pada sisi Utara, kampung Paris terdapat Bukit Tawar. Pada sisi Selatan, kampung Paris terhubung dengan jalan setapak menuju ke Tanjung Lalang di pesisir pantai Barat pulau Bangka, serta kampung Paris juga terhubung dengan jalan setapak menuju ke sisi Tenggara Aik Menjoel di laut pesisir Barat pulau Bangka. Pada peta Tahun 1946, Kampung Paris juga telah terhubung ke arah Utara dengan jalan setapak yang terletak di sisi Timur sungai Oelin sampai ke kampung Delas.  

Kampung ini diberi nama dengan toponimi Paris karena dulunya pada kawasan atau wilayah geografis kampung banyak tumbuh pohon Paris atau pohon Meranti Putih. Kampung Paris menjadi kampung mati atau menjadi kampung kosong karena ditinggalkan penduduknya yang kemudian pindah ke wilayah kampung Batubetumpang. Dalam peta Res. Bangka en Onderh. Opgenomen door den Topografischen dienst in 1933-1934 Blad 35/XXVIIe, pada tahun tersebut dalam peta sudah tercatat keberadaan kampung Paris dan kampung Batubetumpang. Berdasarkan temuan di bekas kampung Paris, terdapat kawasan yang ditumbuhi aneka macam buah-buahan yang cukup berusia tua, yang mirip dengan Kelekak dan terdapat temuan bekas Dua anak tangga rumah terbuat dari semen dan bekas bak terbuat dari semen tempat berwudhu. Berdasarkan keterangan lisan masyarakat, bahwa pada kampung Paris telah terdapat Surau atau Langgar (diperkirakan 

Kampung Paris merupakan kampung kecil sekitar 20-30 keluarga batih monogami). Menelisik keterangan pada peta di atas, tampaknya Kampung Paris berada pada tepi kiri dan kanan Jalan dan pada posisi yang lurus sepias dengan wilayah pesisir Barat pantai pulau Bangka. Kemudian pada sisi Timur kampung Paris terdapat kebun Lada atau Sahang penduduk yang ditanami dengan teratur, serta pada bagian Selatan dan Utara Kampung terdapat tanaman atau kebun Karet penduduk. Kemungkinan kampung Paris secara berangsur angsur ditinggalkan oleh penduduk kampungnya dan pindah ke kampung Batubetumpang karena kampung Paris adalah kampung yang terisolir diapit oleh dua sungai besar yaitu sungai Oelin dan sungai Nyireh sehingga sulit terhubung dengan kampung kampung lainnya melalui darat, serta kampung Batubetumpang yang letaknya lebih strategis untuk berhubungan melalui transportasi darat dengan kampung kampung di sisi Utaranya.*** 

Tag
Share