STAF AHLI KEPALA DAERAH, Jabatan Terminal atau Marginal?
--
Oleh: Sarbini
Ketua Forum Staf Ahli Kepala Daerah (Forsakada) se Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Priode 2019-2021
___
Jabatan Staf Ahli Kepala Daerah, apakah Staf Ahli Gubernur, Staf Ahli Bupati maupun Staf Ahli Walikota, mungkin tidak banyak orang mengenalnya atau bahkan pernah mendengarnya apalagi memahaminya, termasuk di kalangan pemerintahan sendiri. Yang kenalpun mungkin sekedar tau nama sehingga agak bingung jika ditanya apa beda dengan Tenaga Ahli atau juga dengan Staf Khusus. Lebih ironinya dalam implementasi tugas dan fungsi Staf Ahli bukan hanya tidak jelas bedanya dengan adanya Staf Khusus, tetapi dengan Jabatan Asisten Sekretaris Daerahpun terkadang rancu. Padahal menilik dari namanya saja, Staf Ahli Gubernur, Staf Ahli Bupati, Staf Ahli Walikota lalu Asisten Sekretaris Daerah Provinsi, Kabupaten atau Kota, kita bisa membayangkan bahwa Staf Ahli selalu berkaitan langsung dengan tugas-tugas Kepala Daerah, sedangkan Asisten seyogianya tugas pokoknya berkaitan langsung dengan tugas-tugas Sekretaris Daerah yang lebih bersifat koordinasi dan pelayanan adminsitratif. Dengan demikian idealnya dalam hal mewakili Gubernur, Bupati dan Walikota, sebagai ilustrasi atau contoh saja, maka selagi masih ada Staf Ahli harusnya tidak Asisten dulu yang bertugas.
Merujuk pada PP Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah dan Permendagri No 134 Tahun 2018 tentang Kedudukan, Tata Hubungan Kerja dan Standar Kompetensi Staf Ahli Kepala Daerah, Staf Ahli adalah Jabatan Struktural Pimpinan Tinggi dan harus ASN. Staf Ahli berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur, Bupati dan Walikota yang mempunyai tugas utama memberikan rekomendasi terhadap isu-isu strategis, memberikan pertimbangan kepada Kepala Daerah dalam mengambil kebijakan penting, serta mewakili Pemda dalam pertemuan-pertemuan ilmiah tingkat internasional, nasional dan daerah maupun dalam sosialisasi kebijakan dan lain-lain. Dari sini jelas bahwa Staf Ahli sesungguhnya jabatan strategis dan seyogianya bergengsi karena tugas dan fungsinya berkaitan dengan pemikiran pada level kebijakan yang langsung dengan Kepala Daerah dalam skala lokal, regional bahkan global. Staf Ahli bisa menjadi bagian penting lahirnya kebijakan-kebijakan mendasar suatu daerah yang berdampak luas dan jangka panjang.
Apa iya Staf Ahli merupakan Jabatan Strategis dan bergengsi?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentu tidak cukup hanya dengan dukungan regulasi tetapi setidaknya tergantung 2 (dua) hal lain yaitu; bagaimana si Staf Ahli bisa memerankan diri dan bagaimana pula ia diposisikan oleh User yang nota benenya adalah Kepala Daerah itu sendiri dan yang kedua ini tentu menjadi faktor yang lebih dominan. Saya pakai istilah “memerankan diri” di sini karena bukan hanya menyangkut pelaksanaan tugas dan fungsi (kinerja) tetapi juga bagaimana seorang Staf Ahli memandang jabatan itu sendiri. Seorang Staf Ahli harus memiliki kapabilitas, tidak hanya kompetensi, yang merupakan akumulasi dari knowledge, skill (tecknical skill, human skill dan conceptual skill) dan sikap (attitude), bahkan kapasitas atau jenjang kecakapan tertinggi alias mumpuni yang itu diperoleh bukan hanya dari sekolah dalam bentuk kualifikasi pendidikan formal, tetapi berbagai diklat teknis dan tempaan pengalaman dengan beragam jabatan dari berbagai sektor. Mencermati tugas dan fungsi serta kapasitas (idealnya) seorang Staf Ahli, maka seyogianya pendekatan dan pola kerja mereka lebih kepada akademik-konseptual ketimbang birokrasi-struktural, sehingga mereka juga dalam melaksanakan tugasnya lebih banyak menjalin kemitraan dengan perguruan tinggi.
Begitu pentingnya kecakapan Staf Ahli, sampai-sampai Kementrian Dalam Negeri melalui Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia, memandang perlu melaksanakan diklat khusus untuk Jabatan tersebut. Adanya pendidikan dan pelatihan khusus Staf Ahli Kepala Daerah tentu bukan hanya karena beratnya tugas dan fungsi, sehingga perlu dukungan kecakapan yang memadai, tapi pada saat yang sama sesungguhnya Kemendagri memandang bahwa Staf Ahli merupakan jabatan penting dan strategis sebagai handling manajement. Itu berarti Kepala Daerah dalam mengambil kebijakan-kebijakan setelah melalui kajian yang mendalam dan tidak terlepas dari masukan-masukan Staf Ahli. Staf Ahli akan makin penting mana kala Kepala Daerah yang terpilih adalah berasal dari Partai Politik atau masyarakat biasa, bukan berlatar belakang atau mantan birokrat, yang belum berpengalaman di bidang pemerintahan khususnya dan pembangunan daerah pada umumnya. Sampai di sini sangat jelas bahwa Jabatan Staf Ahli Kepala Daerah adalah penting, strategis dan bergengsi. Bisa jadi ada yang dengan sinis langsung mecibir sambil bergumam, “ah teori”. Mengapa demikian? Mari kita liat implementasinya secara umum.
Marginal atau Terminal ?
Dalam satu tahun anggaran, terkadang beberapa kali Staf Ahli Kepala Daerah melaksanakan atau mengikuti rapat koordinasi regional maupun nasional, demikian juga rapat kerja daerah atau nasional Forsakada. Pada pertemuan-pertemuan itulah biasanya terjadi transfer ilmu terkait dengan apa dan bagaimana membuat naskah akademik, policy paper, policy brief, telaahan staf dan memo kebijakan. Di sini juga dibahas terkait isu-isu strategis yang perlu menjadi perhatian para Staf Ahli sebagai bahan rekomendasi untuk disampaikan kepada Kepala Daerah masing-masing. Hal demikian tentu sesuai dengan tujuan penyelenggaraan, tetapi hal yang kadang justru lebih menarik dan lebih seru, muncul di sela-sela kegiatan adanya curhatan peserta terkait perlakuan Staf Ahli di suatu daerah yang selalu diamini peserta lainnya. Artinya apa yang dikemukakan adalah serupa dengan yang dialami oleh Staf Ahli di daerah lain. Menjadi fenomena umum bahwa jabatan Staf Ahli tidak lebih dari hanya semacam ruang pembuangan, karena memang dimutasi jadi Staf Ahli dianggap tidak loyal, ada kesalahan fatal, tidak sejalan dengan Kepala Daerah, karena sudah mau pensiun dan lain-lain. Jadilah Staf Ahli yang tidak pernah dilibatkan dalam berbagai kegiatan pembahasan kebijakan atau kegiatan penting lainnya bahkan tidak pernah ditugaskan untuk sekedar mewakili Kepala Daerah atau Pemda sekalipun. Fasilitas yang jauh berbeda dibandingkan dengan Jabatan Pimpinan Tinggi lainnya, Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP) yang jauh di bawah dengan alasan sesuai dengan beban kerja. Padahal yang lebih proporsional idealnya berbeda bobot kerja antara level kebijakan atau konsepsional dibandingkan dengan level operasional atau teknis. Demikian juga kesempatan melakukan perjalanan dinas sangat dibatasi, bukan hanya yang bersifat inisiatif sendiri bahkan yang ada undangan resmi kegiatan sekalipun kadang tidak dipenuhi. Padahal dalam memberikan pertimbangan atau usulan, seorang Staf Ahli tidak jarang memerlukan studi pembelajaran atau studi komparatif ke daerah lain yang sudah lebih maju.
Selain Staf Ahli ada jabatan lain yang sebenarnya agak misterius yaitu Staf Khusus tetapi kadang lebih difungsikan dari pada Staf Ahli. Dikatakan misterius karena dari mana datangnya tidak jelas, keberadaannya pun dimana tidak jelas tetapi terkadang tiba-tiba datang mau ikut-ikut ngatur sampai ke hal-hal teknis di tingkat Badan dan Dinas dengan alasan perintah atasan. Jumlah mereka tidak menentu, latar belakang pendidikan dan keahlian mereka juga tidak ada syarat-syarat yang spesifik tetapi mereka tidak jarang dapat berbagai fasilitas keistimewaan. Mereka adalah orang-orang dekat alias ordalnya Kepala Daerah yang biasanya direkrut karena balas budi politik, mereka orang-orang yang berkeringat dalam kontestasi pemilihan Kepala Daerah. Jika Staf Ahli dan Staf Khusus diibaratkan saudara, maka Staf Ahli perlakuannya seperti anak tiri dan Staf Khusus layaknya anak kandung sang Kepala Daerah.
Dengan demikian jadilah Jabatan Staf Ahli seperti antara ada dan tiada bahkan menjadi momok, jika di mutasi dari Jabatan Pimpinan Tinggi lainnya ke Staf Ahli seakan kiamat karirnya, dan tidak heran jika Staf Ahli dipelesetkan menjadi Ahli yang distafkan alias masuk kotak. Sampai di sini jelas bahwa Staf Ahli adalah jabatan marginal. Kondisi agak berbeda dari fenomena umum sebagai mana diuraikan di atas, tetapi kasusnya sedikit, adalah ketika seorang pejabat yang biasanya punya kedekatan tersendiri dengan Kepala Daerah mau diorbitkan pada jabatan strategis lain tetapi jabatan tersebut masih ada pejabatnya atau ada alasan taktis tertentu, maka yang bersangkutan di tempatkan sementara sebagai Staf Ahli sambil menunggu waktu yang tepat yang biasanya tidak begitu lama baru kemudian dimutasi pada jabatan lain. Inilah yang saya sebut Staf Ahli sebagai Jabatan Terminal.
Fenomena umum yang menempatkan Staf Ahli sebagai jabatan “penghukuman” alias marginal atau paling-paling terminal di atas, tidak berarti di semua daerah seperti itu. Setidaknya Staf Ahli Walikota Jambi, sebagai contoh dan seyogianya yang menjadi percontohan, yang betul-betul difungsikan keahliannya bukan hanya dalam memberikan pertimbangan kebijakan dalam menghadapi isu-isu strategis bahkan mereka juga dapat memberikan masukan kepada Walikota dalam hal penempatan, pengangkatan maupun pemberhentian pejabat. Fasilitas mereka juga di atas rata-rata bahkan dalam hal-hal tertentu mereka betul-betul mempresentasikan bagaimana halnya Kepala Daerah, maka tidak heran kalau mereka juga sangat disegani oleh Kepala Badan dan Kepala Dinas yang nota bene secara eselonering sama. Tetapi mereka yang menduduki jabatan Staf Ahli Walikota di Jambi adalah juga orang-orang pilihan, dari sisi senioritas maupun kapasitas yang mumpuni dan pasti terpercaya.
Mengakhiri tulisan ini saya ingin menggaris bawahi kembali sebagai kesimpulan bahwa Jabatan Staf Ahli sejatinya adalah jabatan strategis, bukan terminal apalagi marginal, tetapi untuk menjadi demikian tergantung dari Staf Ahli itu sendiri dan lebih-lebih oleh usernya yaitu Kepala Daerah. (*)