Lagi, Pernyataan Bahlil Lahadalia BLunder? Subsidi BBM Ojol Akan Dicabut?
Ilustrasi-screnshoot -
RENCANA Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, untuk menghentikan pemberian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi kepada pengemudi atau driver ojek online (Ojol) menuai kritikan keras dari berbagai kalangan.
---------------
DALAM keterangannya, Bahlil menjelaskan bahwa keputusan ini disebabkan karena Ojol sendiri saat ini masih tergolong sebagai usaha atau bisnis pribadi.
Selain itu, driver Ojol yang juga memiliki kendaraan sendiri juga masih dianggap sebagai golongan mampu.
"Yang berhak menerima subsidi kan cuma kendaraan yang berpelat kuning, seperti Angkot, transportasi. Supaya apa? Harganya," ujar Bahlil dalam keterangan resminya pada Rabu 27 November 2024.
BACA JUGA:Bahlil Umumkkan Susunan Pengurus DPP Partai Golkar Periode 2024–2029; Ini Daftar Lengkapnya
Menanggapi rencana ini, Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional 'Veteran' Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyatakan bahwa langkah ini dinilai tidak adil mengingat peran strategis ojol dalam mendukung perekonomian masyarakat perkotaan.
Menurutnya, kebijakan ini seolah mengabaikan fakta bahwa pengemudi ojol bukanlah kelompok ekonomi mampu, melainkan sebagian besar berasal dari kelas menengah ke bawah yang mengandalkan pendapatan harian.
"Ojol telah menjadi solusi transportasi yang efisien, fleksibel, dan terjangkau bagi jutaan masyarakat, terutama di kota-kota besar," jelas Achmad ketika dihubungi oleh Disway.id pada Jumat 29 November 2024.
''Mereka tidak hanya mengangkut penumpang tetapi juga menjalankan fungsi penting dalam logistik, termasuk pengiriman makanan dan barang," tambah Achmad.
BACA JUGA:Gelar Doktor Ditangguhkan UI, Bahlil Ngaku Belum Tahu
"Subsidi BBM bagi pengemudi ojol sebenarnya bukan hanya untuk mereka, tetapi juga untuk masyarakat luas yang menggunakan layanan ini," tambahnya.
Selain itu, Achmad melanjutkan, tanpa adanya subsidi, maka biaya operasional pengemudi ojol akan meningkat drastis, yang hampir pasti akan diteruskan ke konsumen dalam bentuk kenaikan tarif.
"Ini berisiko mengurangi aksesibilitas transportasi murah bagi kelas menengah dan bawah, meningkatkan biaya hidup, dan pada akhirnya menekan daya beli masyarakat yang sudah terhimpit oleh inflasi," pungkas Achmad.