Komunitas Anti Maladministrasi, Pembawa Harapan yang Dinanti
Kgs Chris Fither-Dok Pribadi-
Dari sisi partipasi masyarakat, bahkan masih sangat banyak pengguna layanan yang belum memahami bahwa mereka memiliki hak untuk mendapat layanan sesuai standar dan melapor jika layanan yang diberikan tidak berkualitas.
Agus Dwiyanto, seorang ahli administrasi publik, pernah menulis, “selama ini hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam menentukan proses penyelenggaraan layanan sering diabaikan.” Pernyataan ini menegaskan bahwa kesadaran publik masih dalam tahap pasif, belum berkembang menjadi kesadaran kritis yang aktif.
Lihat saja data penanganan pengaduan yang ada di Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sejak tahun 2014-2024 jumlah aduan yang sudah diterima 6.429 aduan dengan total aduan tahun 2014 (144 aduan), 2015 (120 aduan), 2016 (137 aduan), 2017 (140 aduan), 2018 (130 aduan), 2019 (83 aduan), 2020 (610 aduan), 2021 (1181 aduan), 2022 (1244 aduan), 2023 (1328 aduan) dan 2024 (1312 aduan).
Terlihat baik memang progres peningkatan aduannya, tapi ternyata layanan pengaduan yang diproses ombudsman lebih banyak layanan aduan yang bersifat konsultasi, bukan laporan resmi. Bahkan jumlah aduan yang meningkat tersebut memang bagian dari inisiatif ombudsman untuk jemput bola dengan membuka layanan aduan jemput bola, diseminasi dan membuka gerai-gerai aduan di instansi layanan publik. Berdasarkan data tersebut, benar bahwa kesadaran masyarakat dalam melapor masih sangat rendah. Potret ini sudah cukup menggambarkan sebenarnya bahwa partisipasi masyarakat dalam mengawasi pelayanan publik harus ditingkatkan.
//Komunitas Yang Dinanti
Partisipasi masyarakat adalah denyut nadi demokrasi. Ia bukan formalitas, melainkan bentuk tanggung jawab warga negara untuk bersama-sama menciptakan good dan clean goverment. Hal ini sejalan dengan pendapat Mardiasmo (2018) yang dikutip oleh United National Development Program (UNDP). Menurutnya partisipasi adalah salah satu indikator good government governance.
Lebih lanjut, Mardiasmo menjelaskan bahwa partisipasi tersebut dapat berupa keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. Kebebasan berpendapat tersebut juga dapat dimaknai bahwa sesungguhnya masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengawasan pelayanan publik.
Lahirnya gagasan untuk membangun pengawasan partisipatif sudah harus terus digelorakan. Sebuah konsep di mana masyarakat tidak hanya menjadi penerima layanan, tetapi juga pengawal moral penyelenggara layanan sudah menjadi keharusan. Dan syukurnya Ombudsman Republik Indonesia sudah menyadari itu. Secara serentak diseluruh Indonesia, Ombudsman menginisiasi pembentukan komunitas anti maladministrasi.