Mendengar, Menaati, dan Berlomba Menjaga Laut Batu Beriga
Randi Syafutra-screenshot-
Di tengah dunia yang semakin tergerus nilai-nilai spiritualitas, sikap sami'na wa atho'na terhadap kebaikan dan ajaran Tuhan menjadi oase yang langka. Dunia yang mengejar keuntungan materi sering kali melupakan amanah ilahi untuk menjaga bumi. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 148 tentang fastabiqul khairat, berlomba dalam kebaikan. Pesan ini menegaskan bahwa keberhasilan sejati bukan dalam mengumpulkan harta atau mengeksploitasi sumber daya, melainkan dalam sejauh mana kita memperjuangkan nilai kebaikan, keadilan, dan keberlanjutan.
Apa yang terjadi di Batu Beriga adalah contoh nyata bagaimana kesadaran ekologis harus dihidupkan dari bawah, oleh rakyat, lalu diperjuangkan ke atas, oleh pemimpin yang mendengarkan hati nurani. Dunia mungkin memperhatikan Bangka Belitung karena hasil timahnya, tetapi sejatinya dunia akan lebih menghormatinya karena keberaniannya mempertahankan laut dan pulau-pulaunya dari kehancuran.
Tentu perjuangan ini masih panjang. Penolakan hari ini harus diikuti oleh tindakan nyata esok hari: audit terhadap seluruh IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang masih bercokol di perairan sekitar, pemulihan kawasan pesisir yang telah rusak, penguatan mata pencaharian alternatif bagi nelayan, seperti pengembangan ekowisata bahari dan budidaya perikanan ramah lingkungan. Jangan sampai pengumuman penolakan tambang hanya menjadi peristiwa seremonial, tanpa transformasi konkret yang menyentuh akar masalah.
Sejarah akan mencatat. Di masa depan, anak-anak Batu Beriga akan membaca kembali kisah ini dalam buku-buku pelajaran mereka, mendengarkan cerita dari kakek-nenek mereka, dan mungkin menuliskan dalam catatan harian mereka: "Dulu, ketika laut kami hampir dirampas, orang tua kami berdiri bersama. Mereka mengatakan cukup sudah. Mereka mendengar panggilan alam. Mereka berkata: kami mendengar dan kami taat pada kebaikan."
Dalam dunia yang kian keras, Batu Beriga memberi pelajaran: bahwa di antara bisingnya kepentingan, masih ada ruang untuk kebenaran berbicara. Bahwa dalam kerumitan regulasi dan politik, masih ada tempat untuk hati nurani memimpin. Bahwa dalam keraguan, kita selalu punya pilihan: mendengar, menaati, dan berlomba-lomba dalam kebaikan demi bumi yang lestari.**