Mendengar, Menaati, dan Berlomba Menjaga Laut Batu Beriga
Randi Syafutra-screenshot-
Namun, apakah cukup berhenti di situ? Tidak. Islam mendorong umatnya untuk fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan. Artinya, setelah keputusan penolakan ini, harus ada usaha lebih jauh yang dilaksanakan, tidak hanya oleh pemerintah, tapi juga oleh seluruh elemen masyarakat, untuk memperkuat perlindungan laut Batu Beriga. Ibarat lomba menuju kebaikan, perjuangan ini harus terus dipacu, bukan berhenti setelah satu kemenangan kecil. Kita harus memastikan bahwa penolakan tambang hari ini tidak menjadi basa-basi politik, melainkan awal dari gerakan kolektif untuk menjaga laut, hutan, dan tanah Bangka Belitung dari eksploitasi tak berkelanjutan.
Mengamati dinamika penolakan tambang laut Batu Beriga ini, terlihat jelas bahwa persoalan lingkungan hidup selalu lebih kompleks daripada sekadar izin atau tidak izin. Ia menyentuh ruang hidup manusia, ekosistem makhluk lain, keseimbangan alami yang telah terjaga berabad-abad lamanya. Ketika izin tambang diberikan di masa lalu, ketika Perda RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil) disahkan tanpa mempertimbangkan aspirasi lokal, sesungguhnya luka ekologis sudah ditebarkan.
Ironis, sebab semestinya sebuah regulasi lingkungan lahir dari semangat menjaga keseimbangan ruang hidup, bukan mempermudah kehancurannya. Kini, di titik ini, kita semua dipanggil untuk memperbaiki, untuk menebus kekeliruan masa lalu dengan keberanian bertindak benar hari ini.
Pernyataan Hidayat Arsani dan Algafry Rahman, jika dibaca dalam bingkai lebih luas, bukan hanya soal kebijakan lokal, melainkan cermin tantangan nasional dalam pengelolaan lingkungan hidup. Indonesia yang kaya sumber daya, dari ujung Sabang hingga Merauke, dari Miangas sampai Rote, sering kali tergoda untuk menggadaikan kelestariannya demi keuntungan sesaat.
Batu Beriga hari ini mungkin menyuarakan penolakan, tetapi di banyak wilayah lain, suara alam sering kali terpinggirkan oleh kepentingan industri ekstraktif yang rakus dan tidak berpikir jangka panjang. Ini bukan hanya soal satu laut kecil di Bangka Tengah, tetapi tentang arah besar kita sebagai bangsa: apakah kita akan menjadi bangsa penjaga warisan bumi atau justru pewaris kehancuran?
Kembali kepada makna lingkungan hidup dalam pengertian hakiki, ia bukan hanya latar belakang kehidupan manusia, tetapi ruang di mana seluruh makhluk berbagi hidup. Lingkungan adalah ruang komunal, tempat manusia dan makhluk lain berinteraksi dalam harmoni. Setiap perusakan terhadap lingkungan bukan hanya pengkhianatan terhadap manusia hari ini, tetapi juga terhadap generasi yang belum lahir. Mereka yang akan bertanya dalam hati mereka kelak: mengapa leluhur kami tidak menjaga laut, hutan, dan udara kami?
Itulah sebabnya, dalam konteks penolakan tambang laut ini, semangat fastabiqul khairat menjadi penting. Kita berlomba-lomba bukan untuk saling mengalahkan, tetapi untuk saling menguatkan dalam memperjuangkan kebaikan bersama. Masyarakat Batu Beriga, pemerintah daerah, aktivis lingkungan, akademisi, jurnalis, dan masyarakat umum—semuanya harus bergerak dalam irama yang sama: memperkuat regulasi perlindungan lingkungan, mempercepat revisi RZWP3K yang sudah usang, memperkuat pendidikan lingkungan sejak usia dini, dan mengembangkan ekonomi pesisir berbasis konservasi, bukan eksploitasi.