Guru yang Tak Pernah Menggurui
Hamdan Juhannis.-Dok Pribadi-
Begitulah saya memaknai saat Menteri Agama menyampaikan ulasan tentang ikhtiar meraih kemuliaan seorang guru. Dia memaparkan idealitas sosok guru yang akan dituju, guru yang bukan sekadar "fokus" tapi "tulus". Saat berbicara di depan guru, Menteri Agama tidak sedang membaca "teks" tetapi menyampaikan "konteks", bagaimana dirinya sebagai bagian dari guru-guru yang ada di hadapannya secara bersama membentangkan jalan untuk mencapai "maqam" kemuliaan itu.
Menteri Agama begitu fasih berbicara tentang kemuliaan menjadi guru, karena dirinya melakoni seluruh fase hidupnya yang berada pada satu tarikan nafas dengan profesi guru. Saat baru memulai aktifitasnya, Ia sudah langsung menjadi guru. Pada subuh hari, saat membuka zoom untuk memberikan pengajian, beliau sudah otomatis menjadi guru. Saat menuju ke kampus sebagai dosen, sudah pasti ia bekerja sebagai guru tentunya, karena ia adalah maha guru atau guru besar.
Sebagai Kyai, Menteri Agama sejatinya juga menjadi seorang guru, tidak mungkin seseorang menjadi Kyai tanpa memililki santri yang selalu diajar. Sebagai Imam Besar, dirinya juga menjadi guru karena mengurus umat dan menjadi representasi tokoh agama bangsa, menawarkan pelajaran yang selalu dicerna oleh para murid yang sering disebut sebagai jamaah.
Guru yang Tak Pernah Lelah
Saya sendiri tidak begitu banyak melihat orang yang bisa melakoni keguruan se-apik dirinya sebagai guru. Beliau bukan hanya menjiwai dengan penyatuan diri dan pikirannya pada profesi guru, tetapi dia meragai profesi itu tanpa pernah memperlihatkan rasa lelah.
Dalam satu hari, dia bisa berpindah dari satu "sekolah" ke "sekolah" lainnya untuk mengajar, sampai larut malam. Bukan kelelahan yang menghentikannya, tetapi aturan hidup yang memaksanya untuk menutup mata sejenak, sebelum ia melanjutkan pengabdian berikutnya saat hari masih gelap.
Saat dirinya diundang berdiri "mengajar", dia selalu mengusahakannya tanpa pernah berhitung level lembaga pendidikan orang-orang yang berada di hadapannya. Ketika menyampaikan pikiran-pikiran tentang pendidikan, gagasannya berselancar jauh dan meluncur tanpa henti.
Karena dia sedang berbicara tentang sesuatu yang bukan hanya berdenyut tapi mengalir deras dalam nadi kehidupannya, tentang apa yang seharusnya dia tampilkan sebagai guru.