Babel Ditinggal Pergi Pemudanya
Sohidin.-Dok Pribadi-
Kabupaten-kabupaten yang ditinggal pemudanya akan terjebak dalam siklus stagnasi: produktivitas rendah, investasi seret, dan kualitas hidup yang stagnan—sementara kota besar di luar provinsi justru memanen bonus demografi dari anak-anak muda Babel yang berkontribusi di sana.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Untuk membalikkan arus migrasi pemuda dan membangun daya tahan daerah, ada lima langkah konkret yang perlu segera diprioritaskan oleh pemerintah daerah maupun pusat. Pertama, perluasan akses pendidikan tinggi dan vokasi. Pemuda tidak akan tinggal jika mereka merasa tak punya ruang untuk tumbuh.
Pulau Belitung idealnya memiliki minimal satu politeknik atau akademi vokasi unggulan yang selaras dengan kebutuhan industri lokal—seperti agroindustri, maritim, energi terbarukan, hingga teknologi informasi. Selain itu, penguatan kemitraan antara kampus, dunia usaha, dan pemerintah sangat krusial agar pendidikan tidak berhenti di tataran teori. Tanpa institusi pendidikan yang relevan dan terjangkau, migrasi untuk kuliah akan terus terjadi dan membuka pintu permanen bagi anak muda untuk menetap di luar daerah.
Kedua, hilirisasi ekonomi lokal. Ketergantungan terhadap komoditas mentah seperti timah, lada, sawit, dan hasil laut membuat Babel rentan terhadap fluktuasi harga global dan tidak menciptakan cukup banyak lapangan kerja berkualitas. Oleh karena itu, perlu dorongan kuat untuk membangun industri pengolahan di dalam provinsi—mulai dari pabrik pengemasan lada dan kakao, industri pengolahan hasil laut, hingga pemanfaatan mineral untuk produk turunan berbasis teknologi. Hilirisasi ini akan meningkatkan nilai tambah, memperluas rantai pasok lokal, dan menyerap tenaga kerja terampil dari kalangan muda.
Ketiga, transformasi desa menjadi digital dan produktif. Desa tidak boleh terus diposisikan sebagai wilayah tertinggal, tetapi harus menjadi pusat inovasi lokal. Caranya adalah dengan mendorong UMKM, petani dan nelayan muda mengadopsi teknologi—baik dalam produksi (pertanian presisi, akuakultur modern), pemasaran (e-commerce), maupun akses pembiayaan (fintech dan koperasi digital). Pemerintah perlu memfasilitasi akses pelatihan, modal usaha, dan inkubasi bisnis desa, agar potensi lokal tidak terus bergantung pada aktor eksternal.
Keempat, insentif untuk pemuda kembali kampung. Anak muda tidak akan kembali tanpa alasan yang kuat. Oleh karena itu, perlu diberikan insentif berbasis merit dan keberlanjutan, seperti beasiswa ikatan daerah, program wirausaha muda desa, insentif pajak usaha kecil, hingga kemudahan akses lahan produktif bagi pemuda yang bertani dan menjadi nelayan. Selain itu, peran diaspora pemuda asal Babel juga bisa dioptimalkan sebagai mentor, investor, atau mitra kolaboratif untuk proyek-proyek desa berbasis komunitas.
Kelima, peningkatan konektivitas transportasi dan internet. Mobilitas antarpulau dan antarkabupaten di Babel masih terhambat oleh akses transportasi yang mahal dan infrastruktur digital yang belum merata, terutama di pulau-pulau kecil dan wilayah terpencil. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap wilayah, sekecil apa pun, terhubung secara fisik dan digital. Akses internet cepat dan transportasi yang efisien bukan hanya penunjang logistik, tapi juga fondasi ekonomi baru yang memungkinkan anak muda belajar, bekerja, dan berbisnis dari mana saja.