Belitung Menuju Pulau Bebas Karbon
Randi Syafutra-Dok Pribadi-
Ini artinya, secara teoritis, Belitung sudah berada dalam kondisi carbon surplus—sebuah posisi langka yang jika dikelola dengan bijak, dapat menjadi kekuatan ekonomi dan diplomasi lingkungan Indonesia di mata dunia.
Namun, sebagaimana Jeju membuktikan, potensi tanpa langkah strategis hanya akan menjadi wacana tanpa makna. Untuk itu, transformasi Belitung menuju Carbon Free Island perlu dimulai dengan serangkaian langkah konkret yang terencana.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah menghitung secara akurat jejak karbon Pulau Belitung, baik dari sektor transportasi, energi, limbah, maupun aktivitas ekonomi masyarakat. Dengan baseline data ini, kita bisa menentukan carbon budget dan menyusun kebijakan berbasis sains.
Langkah berikutnya adalah memetakan dan melestarikan ekosistem penyangga karbon utama di Belitung, seperti hutan mangrove, padang lamun, dan hutan daratan rendah. Ekosistem ini bukan hanya berperan sebagai penyerap karbon, tetapi juga benteng pertahanan terhadap kenaikan permukaan laut dan badai pesisir yang makin sering terjadi akibat krisis iklim. Menariknya, ekosistem karbon biru ini belum sepenuhnya dimanfaatkan dalam sistem perdagangan karbon nasional maupun internasional.
Padahal, jika dihitung dengan skema harga karbon global (antara USD 6 sampai USD 80 per ton CO₂e), potensi ekonomi dari jasa lingkungan ini bisa mencapai miliaran rupiah setiap tahunnya.
Namun, tantangan tetap ada. Salah satu kasus yang mencuat di Belitung beberapa tahun terakhir adalah konversi lahan mangrove menjadi area tambak dan perkebunan sawit.
Di satu sisi, masyarakat membutuhkan mata pencaharian, tapi di sisi lain, degradasi ekosistem berarti hilangnya kapasitas serapan karbon yang vital. Ini menciptakan dilema antara kebutuhan ekonomi jangka pendek dan keberlanjutan ekologis jangka panjang.
Solusinya bukan dengan melarang aktivitas masyarakat secara sepihak, tetapi dengan pendekatan pemberdayaan dan transisi ekonomi. Program seperti ekowisata berbasis komunitas, konservasi berbasis insentif (payment for ecosystem services), hingga pelatihan ecopreneurship bisa menjadi jembatan transformatif antara konservasi dan kesejahteraan.