Refleksi Pendidikan : “Saatnya Partisipasi Semesta"
Tuti-Dok Pribadi-
Rendahnya hasil PISA bisa saja disebabkan oleh kemalasan murid kita atau sistem pendidikan kita belum berhasil mendorong murid berpikir kritis, belajar belum menyenangkan, murid hanya di minta menghafal, sedikit proses berpikir. Atau pendidikan kita masih membebani murid akhirnya belum mencerdaskan.
Hari ini, logo memperingati Hardiknas 2025 menggambarkan tiga sosok yang bersatu, peserta didik, pendidik dan masyarakat. Kalimat 'HARDIKNAS 2025' bertulis hitam tebal yang mengisyaratkan akan ketegasan, mencerminkan semangat yang kuat dan memiliki komitmen yang mendalam". Lalu ada di atasnya, sebuah bintang bersinar yang memberi simbol akan cita-cita tertinggi yaitu ilmu, karakter dan kemajuan bangsa.
Namun, simbolisme hanya berguna bila diterjemahkan ke dalam langkah nyata. Jika semangat logo tidak menyentuh ruang kelas, maka itu hanya estetika. Jika tidak mengubah cara guru mengajar dan atau dukungan pemerintah mengambil dalam keputusan yang berpihak kepada ranah pendidikan, maka itu hanya akan menjadi pajangan belaka.
Hal tersebut sangat penting karena pendidikan Indonesia saat ini terkesan masih jalan di tempat. Meskipun ada kemajuan dalam peningkatan RLS di beberapa daerah, angka nasional yang masih di bawah 10 tahun menunjukkan bahwa Indonesia perlu terus berupaya untuk meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan. Peningkatan akses, kualitas pengajaran, dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan adalah langkah-langkah krusial untuk mencapai tujuan pembangunan manusia yang lebih baik.
Artinya, banyak anak belum menyelesaikan SMP apa lagi di pelosok Papua, lebih miris lagi, lebih. Ketimpangan masih lebar kita temukan. Jurang pendidikan antara kota dan desa, kaya dan miskin, anak berkebutuhan khusus dan anak biasa belum semua terjembatani dengan baik.
Inilah yang di sebut John Dewey sebagai "failure of democracy in education", gagalnya demokrasi jika pendidikan hanya untuk yang mampu. Indikasi di negeri kita ini, pendidikan belum menjadi eskalator sosial yang bagus. Akses dan kualitas pendidikan masih timpang, mencerminkan adanya wajah ketidakadilan itu.
Maka partisipasi semesta bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan. Ia harus hadir dalam bentuk kebijakan afirmatif, sekolah yang benar-benar ramah inklusi, pelatihan guru yang adaptif, kurikulum yang dekat dengan realitas lokal dan investasi publik yang merta di di kota besar hingga daerah terpencil dan terluar
Kewajiban kita saat ini terus berupaya mewujudkan semangat Ki Hajar Dewantara dari kata ke arah tindakan nyata. Ki Hajar Dewantara dalam bukunya Pendidikan (1935) menyatakan bahwa "Pendidikan adalah suatu tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak." Dalam kalimat ini, dua kata kunci yang menjadi inti adalah tuntunan dan tumbuh. Pendidikan bukan mesin pencetak nilai, bukan beban administratif, apalagi alat komersialisasi. Ia adalah jalan pembebasan.