Baca Koran babelpos Online - Babelpos

Mutiara dari Pesisir

Nursubah.-Dok Pribadi-

Sayangnya, anak kampung ini mudah dikenali. Dalam waktu singkat, seantero sekolah langsung mengenalku, Badrun, anak kampung nelayan. Badrun yang ayahnya hilang di laut dan ibunya janda miskin. Celakanya, hari ini, saat sedang menuju perpustakaan, aku diadang oleh segerombolan anak. Edo—pemimpin mereka—mendekatiku, menarik kerah bajuku, “Oh, ini dia cecunguk itu?”

Bug! Pipi kiriku ditinju. Mataku berkunang-kunang. Belum sepenuhnya sadar apa salahku, tinju kedua mendarat mulus di rahang kiriku lagi.

“Edo! Sudah!” teriak seorang gadis.

      ***

Pagi ini kami dipangil ke ruang BK. Kedua ibu kami hadir. Rasa bersalah menyergapku saat melihat emak. Bau anyir menyeruak membuat semua yang hadir di situ menutup hidung. Emak meringkuk menahan sungkan, “Maaf, saya dari desa nelayan. Tadi berangkat subuh-subuh dengan menumpang di bak mobil ikan. Hanya itu kendaraan yang bisa saya tumpangi.”

Bu Sri, guru BK kami, memberikan ceramah panjang lebar. Ibu Edo muntab, mengoceh panjang lebar tak terima anaknya dihajar. Aku bertahan dengan pendirianku, “Saya tidak bersalah, Tante. Edolah yang memulai.”

“Heh, sudah salah masih membela diri! Gak tahu diri ya, kamu! Sudah sekolah di sini dibantu lewat beasiswa, gak bisa jaga sikap. Tolong Bu Sri, saya minta dia dihukum berat karena sudah membuat anak saya cedera. Bayar biaya pengobatan anak saya juga kamu gak akan mampu!”

Emak gemetar, “Ibu, mohon maafkan anak saya. Akan saya didik lagi agar bersikap lebih sopan.”

Pertemuan itu berakhir damai. Aku menerima hukuman dan masih diberi kesempatan. 

Tak terasa kami sudah di pengujung sekolah. Sekolahku lancar, prestasi akademik dan nonakademik kusabet semua. Aku bahkan mengantongi surat rekomendasi untuk masuk perguruan tinggi negeri ternama di Jakarta lewat jalur undangan.

Acara perpisahan sekolah ditutup dengan studi tur ke Bali. Semua siswa tidak menyia-nyiakan momen itu. Bermain pasir, berjemur di bawah sinar matahari, atau menikmati serunya berenang di tepi laut. Saat sedang asyik menikmati keseruan itu, kami dikagetkan dengan teriakan histeris dari beberapa teman.

“Tolong! Edo terbawa ombak!” diiringi isak tangis. Beberapa orang berlari menghubungi petugas pantai. Tanpa berpikir panjang, aku langsung berlari ke laut dan berenang cepat ke arah Edo yang melambaikan tangan meminta pertolongan. Aku melesat menembus ombak, menggapai dan menariknya ke tepi. Tubuhnya lemas, kehilangan kesadaran. Aku mengecek napas dan denyut nadinya, lalu melakukan prosedur cardiopulmonary resuscitation (CPR). 

Orang-orang berkerumun, menanti dengan gelisah. Tidak lama, Edo memuntahkan cairan disertai buih. Seruan lega menggema saat melihat Edo akhirnya bisa diselamatkan. Tulang betisnya cedera terkena karang. Petugas langsung membawanya ke rumah sakit terdekat. Acara kelulusan itu pun harus diselesaikan lebih cepat. 

Aku pulang. Setiap pulang ke kampung ini, luka di hatiku kembali menganga karena teringat Abak. Aku sedang berkemas-kemas untuk mempersiapkan keberangkatanku ke Jakarta ketika emak mengetuk pintu kamarku. “Ada tamu,” ujarnya.

“Temuilah,” emak tersenyum.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan