Baca Koran babelpos Online - Babelpos

Aroma Kopi, Harmoni Hati

Imelda-Dok Pribadi-

Di meja lain, Bang Japar, seorang nelayan Melayu, sedang mengeluhkan hasil tangkapannya yang kurang memuaskan akhir-akhir ini kepada Pak Made, pengusaha tambak ikan air tawar asal Bali yang sudah lama menjadi warga Pangkalpinang. "Laut lagi kurang bersahabat, Pak Made. Ikan susah dicari," keluhnya.

Pak Made, yang berencana memperluas usahanya, menimpali, "Kalau begitu, Bang Japar, coba beralih ke budidaya ikan tawar saja. Saya bisa bantu bibitnya. Potensinya bagus lo, di Pangkalpinang banyak permintaan ikan air tawar." 

Tawaran Pak Made disambut baik oleh Bang Japar. Kebiasaan ngopi di warung telah menjadi medium yang efektif untuk bertukar informasi bisnis dan bahkan menciptakan peluang ekonomi baru.

Warung kopi Pak Karim adalah representasi dari kerukunan dan ekonomi Bangka Belitung. Di sini, batas-batas agama dan suku menjadi kabur, yang ada hanyalah manusia dengan segala problematikanya kemudian mencari secangkir kopi hangat, dan berbagi cerita. 

Aisyah sering melihat Pak Karim tak pernah membedakan pelanggannya. Mau itu Haji Sulaiman dari masjid sebelah, Biksu Agung dari Vihara Dhammaram, atau Pendeta Robert dari gereja di ujung jalan, semuanya dilayani dengan senyum dan kehangatan yang sama.

Suatu sore, terjadi musibah. Salah satu pusat perdagangan di Pangkalpinang terbakar hebat. Banyak pedagang, termasuk beberapa kenalan Pak Karim dan Koh Lim, kehilangan mata pencaharian mereka. Kabar duka ini menyebar cepat di warung kopi. Kesedihan meliputi semua yang hadir.

"Bagaimana nasib mereka, Karim? Modal habis, barang dagangan ludes," ujar Koh Lim dengan raut wajah cemas.

Pak Karim menghela napas. "Kita harus bantu, Lim. Ini ujian bagi kita semua."

Tanpa perlu komando, semangat gotong royong ala masyarakat Melayu Bangka Belitung langsung bangkit. Dimotori oleh Haji Sulaiman dari masjid, Koh Lim dari kalangan Tionghoa, dan Pendeta Robert, mereka berembuk di warung kopi Pak Karim. Mereka memutuskan untuk menggalang dana bantuan. Pak Karim menawarkan warungnya sebagai posko penggalangan dana dan makanan. Aisyah dengan sigap membantu mencatat donasi dan memilah barang bantuan.

Para donatur datang dari berbagai latar belakang agama dan suku. Umat Muslim menyumbangkan beras dan pakaian, umat Buddha membawa hasil kebun, dan umat Kristiani memberikan sumbangan berupa uang tunai. Tak peduli agama mereka, semua bersatu padu. Bantuan itu didistribusikan kepada seluruh korban tanpa memandang latar belakang agama, hanya karena mereka adalah sesama manusia yang membutuhkan. Semangat kebersamaan ini tidak hanya meringankan beban korban, tetapi juga memperkuat ikatan silaturahmi antarumat beragama.

Beberapa bulan kemudian, Pangkalpinang kembali pulih. Pusat perdagangan yang terbakar mulai dibangun kembali dengan bantuan dari berbagai pihak. Warung Kopi Pak Karim kembali ramai dengan obrolan ringan dan tawa. Secangkir kopi hangat menjadi saksi bisu kerukunan adalah fondasi dari segala kemajuan, termasuk dalam bidang ekonomi. Bagi Aisyah, Pangkalpinang adalah rumah, tempat harmoni bersemayam di setiap sudut kota, disiram oleh kehangatan sinar mentari, dan dihangatkan oleh aroma kopi persaudaraan yang tak pernah padam.**

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan