Pulau Tujuh (7 Eiland) (3 Habis)
Akhmad Elvian dan Pulau Tujuh.-screnshot-
Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP
Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung
Penerima Anugerah Kebudayaan
SETELAH Sultan Mahmud Riayat Syah wafat pada tanggal 12 Januari 1812, dan kemudian digantikan oleh Sultan Abdurrahman Syah dan Yang Dipertuan Muda dijabat oleh Raja Djafar, ditandatanganilah perjanjian politik dengan Belanda pada Tahun 1818 yang menyatakan, bahwa sultan menerima kehadiran Pemerintah Hindia Belanda di Kerajaan Lingga-Riau-Johor-Pahang.
-----------------
SELANJUTNYA, ketika kerajaan Riau Lingga di bawah pemerintahan Sultan Mahmud Muzaffarsyah (Tahun 1834-1857) yang merupakan cicit dari Sultan Mahmud Riayat Syah, ada upaya dari sultan untuk mengembalikan kedaulatan terhadap wilayah Kerajaan Lingga-Riau-Johor-Pahang, akan tetapi pada Tahun 1857, beliau dimakzulkan oleh pemerintah Hindia Belanda dan sebagai penggantinya Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengangkat Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II (Tahun 1858-1883). Pengangkatan ini menunjukkan semakin nyata dan kuatnya dominasi pemerintah Hindia Belanda dan untuk pertama kalinya pengangkatan Sultan dan Yang Dipertuan Muda kerajaan Riau-Lingga dilakukan dengan besluit atau Keputusan resmi Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Dalam buku Sejarah Pembentukan Kabupaten Lingga, disebutkan bahwa wilayah yang dikuasi oleh Kerajaan Lingga-Riau-Johor-Pahang meliputi wilayah-wilayah mulai dari laut Cina Selatan, mulai dari Kepulauan Natuna, Anambas, Batam, Karimun, Kundur, Senayang, Lingga, Singkep, dan pulau pulau lain yang berda di Selatan Selat Singapura. Paling ujung di Utara adalah pulau Laut (kini, secara administratif, di Kabupaten Natuna) dan paling Selatan adalah pulau Berhala (di Kabupaten Lingga Sekarang) (Liamsi,dkk, 2018: 10).
Keberadaan Pulau Tujuh atau dalam literatur Belanda disebutkan Poeloe Kadjangan (7 Eil) sedikit dapat dipelajari dalam buku Surat-surat Perjanjian antara Kesultanan Riau dengan pemerintahan VOC dan Hindia Belanda antara Tahun 1784-1909 Masehi terbitan Arsip Nasional RI. Membuka kembali dokumen perjanjian antara Kerajaan Riau Lingga masa Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II (Tahun 1858-1883), dengan Pemerintah Hindia Belanda di Arsip Nasional, bahwa pulau Tujuh yang dalam perjanjian itu disebut dengan nama pulau Kadjangan (pulau terbesar di pulau Tujuh terdiri dari pulau Pekajang Besar dan pulau Pekajang Kecil) sejak Tahun 1857 Masehi telah masuk ke dalam wilayah Kerajaan Riau Lingga.
Dalam buku Surat-surat Perjanjian antara Kesultanan Riau dengan Pemerintahan-pemerintahan Hindia Belanda dinyatakan, bahwa pada Tanggal 1 Desember 1857 Masehi diadakan perjanjian antara Kerajaan Riau Lingga dengan pemerintah Hindia Belanda, di pihak Kerajaan Riau Lingga diwakili oleh Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II (Sultan Riau ke-8) sedangkan di pihak Belanda diwakili oleh Residen Riau Frederik Nicolas Nieuwenhuijzen. Perjanjian (contract) tersebut dengan jelas menyebutkan pulau Kadjangan (pulau Tujuh), termasuk dalam daerah takluk Kerajaan Riau Lingga, seperti tersebut dalam lampiran perjanjian yang terdiri dari 12 pasal. Adapun pasal yang menyebut keberadaan pulau Kadjangan (pulau Tujuh) adalah sebagai berikut: Zie artikel 2- Lijst der landen en eilanden uitmakende het gebied van het rijk van Lingga, Riouw en onderhoorigheden, 1. Afdeeling Groep niet opgenomen eilanden ten westen van Straat van Sebaja; Poeloe Saja (3 Eil); Poeloe Kadjangan (7 Eil), terjemahannya kira kira sebagai berikut: Lihat pasal 2- Daftar wilayah dan pulau-pulau yang membentuk wilayah Lingga, Riouw dan pulau pulau yang melingkupinya, 1. Kelompok Pembagian pulau-pulau yang tergabung di sebelah barat Selat Sebaya; Pulau Saja (3 Eil); Pulau Kadjangan (7 Eil).
Selanjutnya terdapat satu hal yang menarik, adalah perjanjian Tanggal 1 Desember Tahun 1857 Masehi tersebut kemudian diubah atau diluaskan sedikit dalam surat perjanjian pada Tanggal 1 Januari 1869 Masehi oleh Residen Riau sebagai wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan Paduka Sri Sultan Riau. Dalam Pasal 6 perjanjian yang diubah dinyatakan, bahwa Kerajaan Riau Lingga dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda (Pax Nederlands), dengan wilayah yang terbatas, yaitu seluruh Kerajaan Riau Lingga dan daerah taklukannya, terkecuali pulau Tujuh di laut Cina Selatan dan segala tanah di pulau Perca.
Adapun bunyi Pasal 6 tersebut sebagai berikut: “Tet het wegnemen der moijelijkheden, die het gevolg zijn van de beperking van’s Gouvernements pachtgebeid tot een gedeelte der eilanden die behooren tot het rijk van Lingga-Riouw en onderhoorigheden. wordt overeengekomen dat het pachtgebeid van het Nederlandsch Indisch Gouvernement betreffende de thans vigerende Gouvernements fachten. gerekend van 1 Januarij 1869. of van zoodanigen lateren dag in dat jaar all Zijne Excellentie de Gouverneur General zal goedvinden. zich zal uitstrekken over al de landen behooren de tot het rijk van Lingga-Riouw en onderhoorigheden. met uitzondering van de eilanden in de Chineshe ze (Poeloe Toedjoeh) en de landen op de kust van Sumatera”. Terjemahannya kira-kira sebagai berikut: “Untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan yang timbul dari batas penguasaan pemerintah terhadap sebagian pulau-pulau yang termasuk dalam wilayah Lingga-Riouw dan pulau pulau yang melingkupinya, disepakati bahwa wilayah yang dikuasai Pemerintah Hindia Belanda tentang wilayah yang dikuasai Pemerintah yang berlaku saat ini, terhitung mulai tanggal 1 Januari 1869, atau kemudian hari pada tahun itu semua Yang Mulia Gubernur Jenderal akan menyetujuinya, akan meluas ke seluruh tanah yang termasuk wilayah Lingga-Riouw dan pulau pulau yang melingkupinya, kecuali pulau-pulau di Laut Cina (Pulau Tujuh) dan wilayah di Pesisir Sumatera.
Dengan adanya perubahan perjanjian pada tanggal 1 Januari 1869, jelas menunjukkan, bahwa Pulau Tujuh di Laut Cina dan wilayah di Pesisir Sumatera dikeluarkan dari wilayah yang diserahkan oleh Kerajaan Riau Lingga kepada Pemerintah Hindia Belanda. Berdasarkan perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Kesultanan Riau Lingga, di atas jelas bahwa Pemerintah Hindia Belanda merasa ragu dan kemudian mengeluarkan atau tidak memasukkan wilayah Pulau Tujuh ke dalam wilayah Keresidenan Riau karena memandang kesulitan-kesulitan yang timbul dari batas penguasaan pemerintah terhadap sebagian pulau-pulau yang ada di Laut Cina (Pulau Tujuh) dan terhadap wilayah yang ada di Pesisir Pulau Sumatera.(***/HABIS)