Baca Koran babelpos Online - Babelpos

Wak Seno dan Balon Walikota Pangkalpinang

Ahmadi Sopyan-screnshot-

Oleh: AHMADI SOFYAN

Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya

    

BERPERILAKU Raja atau Sultan dengan menciptakan abdi dalem anak-anak muda yang notabene putra daerah menjadikan karakter local wisdom urang Bangka terkontaminasi dan ini pendidikan awal dalam “dunia perjilatan”. Kuah rawon jangan nyampur ke lempah kuning. Selain berpengaruh pada warna, pasti berpengaruh pada rasa (ke-bangka-an) kita (lempah kuning).

-------------    

BEBERAPA minggu lalu, saat ngopi di Warkop Legendaris di Kota Pangkalpinang, Warkop Akew (meja 13), kawan-kawan, tepatnya para senior bertanya kepada saya: “Atok Kulop, bagaimana perkembangan Pilkada Pangkalpinang ne?”. Saya yang bukan politisi dan juga bukan calon yang kesana kesini menawarkan diri jadi politisi apalagi pejabat, maka pasti jawaban saya tidak pernah menjadi referensi atau tepatnya nggak pernah serius. Bagi saya yang penting yang mendengarnya senang dan bisa tertawa ngakak, itu sudah cukup. Kalau tidak demikian adanya, kopi saya siapa yang bayarin?

Pertanyaan itu spontan saya jawab dengan nada serius yang juga diawali dengan pertanyaan balik: “Masih ingatkah dengan Wak Seno, yang beberapa puluh tahun silam hidup di Kota Pangkalpinang?” Hampir semua yang ada di Warkop rata-rata tahu dan setidaknya pernah mendengar nama dan cerita tentang sosoknya. Konon, Wak Seno adalah salah satu sosok legendaris yang pernah ada di Kota Pangkalpinang. Dirinya diingat  oleh masyarakat sebagai orang yang “gila pangkat”, sebab busana yang selalu ia pakai penuh dengan tempelan aksesoris seperti seorang pejabat besar. Saya ingat betul, Gubernur Pertama Provinsi Kepuauan Bangka Belitung, A. Hudarni Rani seringkali mengolok-olok Johan Murod yang berpakaian Melayu penuh aksesoris, dengan sebutan “Wak Seno”. 

Kepada senior-senior di Warkop Akew itu, saya mulai bercerita “bebulak ukan” alias “ngerahul”. “Dulu, di Pangkalpinang ini belum banyak WC atau kamar mandi, jadi Wak Seno sering kemeh sekapot (kencing sembarangan tempat). Nah, Pangkalpinang ini kondisi tanahnya dataran rendah laut dan teksturnya berair. Gara-gara Wak Seno kemeh sekapot, jadi aek kemeh Wak Seno ngalir kemana-mana dan mendep di dalam tanah. Seiring perjalanan waktu, orang sudah banyak bikin sumur bor. Nah, aliran aek kemeh Wak Seno itu sampai ke dataran yang cukup rendah, dan yang paling rendah adalah di wilayah Selindung ke arah jalan jembatan emas. Jadi siapa bakal calon Walikota yang kemungkin paling banyak teminom (terhirup/terminum) aek kemeh Wak Seno? Makanya lagak dan gayanya sudah seperti pejabat besar, padahal baru bakal calon. Itulah jawabannya mengapa banyak yang “gile pangkat” saat proses pencalonan Walikota/Wakil Walikota Pangkalpinang sekarang ini”. Jawaban “ngerahul” saya ini ternyata membuat suasana warkop Akew menjadi ramai dengan tawa dan tak sedikit yang menyebut nama-nama bakal calon yang dianggap “gile pangkat” atau berlebihan. 

Dari jawaban “ngerahul” ini, saya sebenarnya ingin mengajak orang berpikir bahwa apa sih yang dikejar dari jabatan itu, ketika ternyata kehormatan diri serta perilaku kita menjadi bahan tertawaan masyarakat. Apalagi setiap wilayah di Indonesia ini, memiliki karakter daerah berbeda-beda. Masyarakat asli Bangka adalah masyarakat yang sangat merdeka, berdaulat dan berdiri pada prinsip diri bukan menghambakan diri kepada orang lain. Sejarah urang Bangka tidak pernah ada kerajaan yang membuat masyarakatnya menjadi abdi dalem sebagaimana di Kerajaan-Kerajaan di Pulau Jawa. Oleh karenanya, jika ada bakal calon (belum calon), sudah petantang petenteng, sudah bersikap dilayani, dibukakan pintu mobil, sebelum datang “berkunjung” tim hore datang duluan menginspeksi lokasi, pas datang pintu mobil dibukain sama ajudan berbadan tegap, saat buka sepatu, tiba-tiba sepatunya langsung diambil oleh ajudan (apa di Bangka ini banyak maling sepatu?), posisi tempat duduk diatur, gaya bicara disantun-santunkan, tukang fhoto dan tukang video siap menyorot, senyum diatur, tawa dicitrakan manis, dan segala tetek bengek pencitraan yang bikin orang asli Bangka menjadi “gelik yok” menyaksikannya.

Sejak sekolah, saya sudah mengenal dan boleh dikatakan cukup akrab dengan pejabat. Bahkan saya pernah bersama Menteri di era Orde Baru. Makan bersama, ngobrol berdua, duduk satu mobil dalam perjalan, tidak sampai begitu formalnya dalam pelayanan. Ini baru bakal calon Walikota, sudah seperti Raja atau Sultan dalam sebuah kerajaan. Ini bisa kita (saya) sebuat sebagai “sesat gaya” di Pulau Bangka. Kepada senior-senior di Warkop Akew saya tambahkan bahwa ada 3 jenis tingkatan dari Urang asli Bangka ketiga ia tidak menyukai seseorang. (1) Langok/Lungoi/Bantut (2) Melengos alias buang muka alias “kentut” dari hidung dan yang (3) Gelik Yok. Sosok yang bersikap Raja atau Sultan dengan abdi dalem anak-anak muda yang notabene putra daerah menjadikan karakter local wisdom urang Bangka terkontaminasi dan ini pendidikan awal dalam “dunia perjilatan”. Ini juga yang membuat saya bersuara bahwa kuah rawon jangan nyampur ke lempah kuning. Selain berpengaruh pada warna, pasti berpengaruh pada rasa (ke-bangka-an) kita (lempah kuning).

Sekali lagi ini soal perilaku, gaya dan cara ber-sosial, bukan persoalan suku apalagi agama. Pertanyaan dilanjutkan oleh Timses Bakal Calon: “Apakah ini bisa berubah kalau nanti benar-benar jadi calon?” Dengan cepat saya jawab: “Dalam falsafah Jawa, Watuk (Batuk) bisa diobatin cukup dengan minum obat atau sirup, tapi Watak (perilaku dasar seseorang) sudah dirubah. Pasti cem ya lah ade e. Die akan tetap kembali bergaya itu nantinya, apalagi punya jabatan”. Semua terdiam dan saya pun pergi meninggalkan warung kopi. Entah siapa yang bayar kopi 3 gelas yang saya minum? Yang pasti bukan Wak Seno!

Salam Kopi!(*)

    

    

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan