KORANBABELPOS.ID.- JAKARTA - Dalam kasus dugaan Tipikor tata niaga komoditas timah terkait wilayah IUP di PT Timah Tbk tahun 2015-2022, untuk jajaran penyelenggara negara aktif yang tertinggi hanyalah level Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Bangka Belitung (Babel), Amir Sahbana. Sementara, 2 orang Kadis lainnya masing-masing Suranto Wibowo dan Rusbani sudah purna tugas alias pensiun.
Di sisi lain, penyelenggara negara untuk dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yhaitu dari direksi PT Timah Tbk. Tiga direksi yang terseret sudah dalam posisi tidak menjabat lagi. Masing-masing Mantan Dirut, Muchtar Riza Pahlevi Thabrani (MRPT), mantan Direktur Keuangan Emil Ermindra, dan mantan Direktur Operasi dan Produksi, Alwin Albar.
Apesnya nasib ke 6 penyelenggara negara ini, keterlibatan mereka dari dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU), justru lebih banyak pada tataran kebijakan. Kecuali 2 orang, masing-masing Amir Sahbana menikmati Rp 325 Juta --bukan sekaligus, melainkan beberapa kali--, sementara dari Direksi Emil Emindra meraup Rp 900 juta lebih melalui perusahaan Boneka CV Salsabila Utama.
BACA JUGA:Kongkalingkong Eks Trio Direksi PT Timah, Lahirkan Metode 'Kaleng Susu'
Akibat kebijakan para penyelenggara inilah dugaan Tipikor yang merugikan negara hingga Rp300.003.263.938.131,14 muncul.
Berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah Di Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah, Tbk Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2022 nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 Tanggal 28 Mei 2024 dari BPKP RI.
Di jajaran Direksi, salah satu modus Tipikor yang terkuak dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus Tipikor tata niaga timah di IUP PT Timah 2015-2022 adalah, kongkalingkong trio direksi sehingga melahirkan metode 'kaleng susu'.
Tahun 2017 itu, Alwin Albar selaku Direktur Operasi dan Produksi PT Timah dengan Dirut Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) dan Direktur Kuangan Emil Emindra berupaya meningkatkan produksi. Namun pola yang akan diterapkan menyalahi aturan. Yaitu membeli dari penambang baik mitra jasa pertambangan maupun penambang ilegal.
Untuk melegalkan itu, dimintalah Kepala Perencanaan dan Pengendalian Produksi PT Timah k, Ichwan Aswardy membuat program peningkatan sisa hasil penambangan (SHP) dari lokasi tambang di IUP PT Timah. Konsep itu disosialisasikan di acara Temu Produksi pada 20 Juli 2017.
BACA JUGA:Terkuaknya Permainan Eks Trio Direksi PT Timah, Beli Timah Ilegal?
''Dari sini lahirlah standard operating procedure (SOP) oleh Direktorat Operasi Produksi atas persetujuan Direktur Utama dan Direktur Keuangan PT Timah," lanjut jaksa.
Dalam penerapan keputusan itu dilakukan dengan jemput bola. Pembelian dilakukan dari semua sumber dengan metode pembayaran tunai.
Ternyata, meski melanggar aturan, namun aplikasinya tetap tak sesuai harapan. Karena pemilik timah illegal tak menjual sesuai Harga PT Timah. Pemilik mau menyesuaikan dengan fluktuasi Harga timah yang ada saat jual beli terjadi atau Harga pasar.
Lalu, karyawan yang berada di bawah pimpinan Alwin Albar mendatangi penambang ilegal yang melakukan pengambilan sisa-sisa hasil penambangan (SHP). Hal itu, ungkap jaksa, untuk melaksanakan program pembelian langsung bijih timah dari penambang ilegal.
BACA JUGA:Terkuak di Dakwaan, Eks Dirkeu PT Timah Raup Rp 986 Miliar Lebih