Oleh karenanya, akan sangat disayangkan bila masih ada praktik di dunia pendidikan yang kurang memperhatikan kompetensi sosial dan kepribadian guru. Pengajar harus menghindari membicarakan kekurangan murid A dan B sementara kebutuhan individual dari setiap murid belum benar-benar terevaluasi.
BACA JUGA:Belajar Bahasa Inggris Melalui TikTok Kreatif
Di saat bersamaan, pengajar diharuskan kompeten secara sosial dalam bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orang tua atau wali peserta didik.
Dalam hal ini jangan sampai hasil penelitian Habibah dkk (2017) dalam judul Analisis Undang-Undang Guru dan Dosen menjadi benar adanya. Bahwa setelah diberikan hak guru profesional, “…dalam pelaksanaannya masih mengalami kendala dan hambatan. Seperti halnya masih banyak guru yang mengikuti program sertifikasi guru hanya bertujuan untuk mendapatkan tunjangan ataupun tambahan gaji, sehingga tujuan awal dari sertifikasi guru yaitu peningkatan kualitas dan profesionalisme guru menjadi terabaikan.”
Jika orang tua sudah berusaha berkomunikasi secara adil dan mendalam namun masih mengalami kesulitan dalam memotivasi anak; ketika guru lebih memilih untuk mendekati masalah tanpa mengumbar aib anak, dan belum kunjung berhasil, tidak ada jalan lain selain mendoakan bersama untuk kemudahan anak didik tersebut.
Puspitasari (2022) mengkaji kerja sama dalam lembaga pendidikan berdasarkan tafsir Al-Qur’an Surat Al-Maidah Ayat 2, “Dan saling tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan saling tolong-menolonglah kalian dalam meninggalkan kemungkaran.”
BACA JUGA:Beda Bahasa, Beda Cara Berpikir, Beda Kepribadian
Ia menyimpulkan bahwa di lembaga pendidikan dibutuhkan kerja sama kebaikan sebagai bentuk ketakwaan. Realisasi kemitraan tersebut salah satunya dapat berupa layanan beasiswa hingga memfasilitasi bakat dan minat dalam rangka meningkatkan kompetensi dan mengembangkan kreativitas siswa.
Sebagai orang tua, kita harus peka terhadap kebutuhan anak kita. Jika anak terlihat berbeda dari teman-temannya, penting bagi kita untuk mendukungnya dengan bertanya langsung tentang apa yang sedang mereka pikirkan saat mereka melakukan sesuatu.
Jika anak belum terbuka, maka sebagai orang tua, kita harus bersedia berkorban dengan kesabaran untuk membimbing anak kita. Uang bisa dicari, tapi kesabaran tidak bisa dibeli, hanya bisa dilatih dan dipupuk.
Pendidik pun kita tidak hanya tentang kompeten pedagogi dan profesionalnya. Guru sejati adalah mereka yang memahami dan mengarahkan minat serta bakat setiap siswa, bukan hanya menghadapi masalah motivasi belajar mereka. Inilah saatnya memanfaatkan kesempatan yang disebutkan dalam buku Model Pengembangan Pembelajaran Berdiferensiasi oleh Khristiani dkk (2021).
BACA JUGA:Potensi Timah Bangka Belitung dan Pengelolaannya dalam Sudut Pandang Islam
Guru bisa menerapkan pendekatan apa saja dalam mengajar. Dengan mengenali variasi tingkat kesiapan dan minat siswa, guru dapat mengelola menggunakan konten, proses, produk, atau lingkungan belajar yang inklusif dan mendukung perkembangan berbagai kemampuan siswa secara optimal.
Dalam Kurikulum Merdeka, misalnya, materi merangkum buku fiksi tidak hanya dalam bentuk ujian esai. Namun juga memungkinkan dalam bentuk karya-karya kreatif seperti komik, puisi, naskah drama, bahkan resensi berbentuk video.
Guru modern tidak lagi mengajar dengan satu cara dan menilai dengan satu ukuran. Pendekatan ini seharusnya lebih menguntungkan bagi siswa, sehingga tidak ada siswa yang ditinggalkan karena kesulitan belajar di bidang tertentu.
Jika pendidikan seperti ini dapat diwujudkan dengan baik, kita akan lebih sadar bahwa proses belajar tidak hanya menuntut bagi orang tua dan guru, tetapi juga sangat melelahkan bagi anak-anak. Kita perlu mendukung mereka dengan penuh kesabaran, doa, dan pemahaman atas proses perubahan yang tidak instan.