*Oleh Vindi Kaldina, MA
Dosen Sastra Inggris Universitas Bangka Belitung
Penerima Beasiswa Fulbright USA 2016
Globalisasi telah mengubah panorama pendidikan dan memberikan lebih banyak opsi bagi para pelajar untuk memilih tempat di mana mereka ingin melanjutkan studi. Saat ini, siswa dari seluruh dunia dapat mendaftar dalam program di destinasi yang sebelumnya tidak pernah mereka bayangkan. Selain itu, kualitas pendidikan yang tinggi, pilihan karier, dan pengalaman budaya baru mendorong para pemuda untuk meningkatkan persentase mahasiswa asing di universitas-universitas bergengsi di seluruh dunia. Dalam Konsorsium Program Internasional Perguruan Tinggi Vokasi di Indonesia, Mendikbudristek (Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi) Nadiem Anwar Makarim menekankan pentingnya menguatkan pendidikan vokasi Indonesia, yang salah satu tujuannya adalah go international. Dalam kesempatan yang sama, Dirjen Diksi (Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi) menyatakan bahwa sudah saatnya pelajar-pelajar asing datang dan belajar di Indonesia. Walau saya setuju dan mendukung pernyataan ini, ada beberapa hal yang menurut saya patut diperhatikan.UU No. 12 Tahun 2012 pasal 50 ayat 1 dan 2, yang menyatakan bahwa kerja sama internasional Pendidikan Tinggi merupakan proses interaksi dalam pengintegrasian dimensi internasional ke dalam kegiatan akademik untuk berperan dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan nilai-nilai keindonesiaan, dan bahwa kerja sama internasional harus didasarkan pada prinsip kesetaraan dan saling menghormati dengan mempromosikan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan nilai kemanusiaan yang memberi manfaat bagi kehidupan manusia
Bukan rahasia lagi bahwa manfaat finansial yang diberikan mahasiswa asing bagi institusi tuan rumah sangat besar. Dengan biaya universitas yang lebih tinggi dan pajak pendidikan, mahasiswa internasional (mulai sekarang akan disingkat menjadi MI) membayar sekitar 50% lebih banyak uang dibandingkan mahasiswa domestik pada umumnya. Namun, masih banyak potensi MI lainnya yang kadang diabaikan. MI berpotensi 1) memperkaya keberagaman universitas, 2) memperkaya pengalaman mahasiswa lain di kampus, 3) mempromosikan kesadaran lintas-budaya di universitas: acara dan kelompok budaya memungkinkan mahasiswa untuk berbagi dan belajar dari makanan dan tradisi satu sama lain, 4) mempromosikan bahasa baru dan adaptabilitas budaya, 5) memberikan kesempatan untuk mempromosikan universitas dan negara kita ke luar negeri, 6) memperkaya kelas dengan perspektif yang berbeda tentang topik dan teori, 7) membawa sumber beragam untuk penelitian dan diskusi dengan menggunakan materi dari negara asal mereka yang mungkin tidak dikenal sebelumnya oleh mahasiswa (bahkan dosen domestik)
Mungkin wajar jika ada yang bertanya, siapkah institusi pendidikan tinggi Bangka Belitung menyongsong perubahan ini? Sejujurnya, ini bukan pertanyaan yang tepat untuk dilontarkan, karena siap atau tidak, perubahan itu akan tetap mendatangi kita. Mungkin pertanyaan yang lebih tepat adalah, apa saja yang harus kita persiapkan? Mungkin ada baiknya kita berkaca kepada berbagai perguruan tinggi di luar sana yang telah lama menyelenggarakan program pendidikan internasional. Kebanyakan orang akan berkata bahwa kita harus mempelajari apa saja yang telah sukses dilakukan perguruan-perguruan tinggi tersebut terkait pendidikan internasional, namun itu memang sudah sewajarnya dilakukan. Saya justru ingin berfokus pada apa yang tidak mereka lakukan, yakni, kesulitan apa saja yang dapat menghalangi seorang MI dari mendapatkan pengalaman belajar, maupun pengalaman kultural, yang optimal.
Mengapa ini penting? Jika pendidikan internasional merupakan ladang bisnis yang menjanjikan dan dapat menguntungkan bukan hanya institusi melainkan juga masyarakat di sekitarnya, maka kita bisa menganalogikannya dengan sebuah restoran. Jika pengalaman yang didapat pengunjungnya baik, maka restoran itu akan semakin terkenal dari mulut ke mulut, sedangkan jika pengunjungnya kecewa, restoran itupun akan mendapat reputasi buruk sehingga semakin jarang orang mengunjunginya. No customer, no business. Jika kita dapat meniru hal-hal yang dilakukan perguruan tinggi lain dengan benar, maka kita juga harus belajar dari kesalahan mereka sehingga kita memiliki daya saing yang tinggi.
Di Amerika saja, universitas-universitas terbaiknya juga dikenal sebagai universitas yang menerima MI terbanyak di negaranya, dan bahkan di dunia. New York University, Columbia University, Boston University, dan Arizona State University hanyalah sebagian kecil dari daftar panjang tersebut. Menerima MI menjadi strategi mereka untuk go international, dan mereka bersungguh-sungguh memberikan pelayanan terbaik agar MI yang bersekolah di sana tidak kecewa dan dapat menyebarkan reputasi baiknya ke seluruh dunia.
Lalu bagaimana dengan perguruan tinggi di Indonesia? Mengulik temuan dari beberapa studi terkait hal-hal yang menjadi masalah terbesar bagi seorang MI di Indonesia, bisa ditebak bahwa bahasa selalu menjadi tantangan terbesar yang sulit untuk dikalahkan, tidak hanya oleh mahasiswa kita di luar negeri, tetapi juga oleh MI di Indonesia. Namun, ternyata perbedaan bahasa bukan satu-satunya yang dapat membuat seorang MI merasa “sengsara” di negeri kita tercinta. Kurangnya sarana, prasarana, dan pemahaman lintas budaya juga menjadi penghambat terbesar.
Di tahun 2018, Alexander Macgregor and Giacomo Folinazzo menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa kendala terbesar yang dihadapi MI di Kanada adalah kurangnya penjelasan tentang ekspektasi dosen, penyampaian materi di kelas, kendala bahasa, isolasi, dan perbedaan budaya. Menariknya, hasil yang sama ditemukan oleh Taiwo Temitayo Emehinola, Ilfiandra, dan Saripah, hanya saja masalah yang dihadapi MI di Indonesia lebih banyak dan lebih kompleks. Selain yang disebutkan di atas, MI di Indonesia juga menghadapi masalah ketidaktepatan waktu, kesulitan finansial, dan kesulitan teknis, yang pada akhirnya berujung pada masalah psikologis, kendala dalam memahami penjelasan, ketidakmampuan bersosialisasi, tekanan akademik, dan kesulitan untuk memercayai orang lain. Mengapa ini terjadi? Mari kita bedah hasil temuan di atas lebih dalam.
Ekspektasi menjadi permasalahan yang dihadapi hampir seluruh MI dalam dua studi yang telah disebutkan di atas. Kebanyakan dari kita mungkin menduga bahwa yang dimaksud adalah ekspektasi MI yang berlawanan dengan kenyataan yang dihadapi di lapangan. Jika Anda menduga hal yang sama, maka dugaan Anda salah. Yang dimaksud dengan ekspektasi di sini adalah ekspektasi dosen terhadap mahasiswanya. Mahasiswa sering tidak mendapat kejelasan akan apa yang diharapkan dosen terhadap dirinya. Lebih tepatnya, MI tidak mendapatkan penjelasan konkret tentang apa yang harus mereka lakukan untuk mendapatkan nilai yang diharapkan. Terkadang, dosen tidak merancang tugas yang menonjolkan pengetahuan dan keterampilan MI, dan seringkali menumpukan nilai pada kemampuan MI berkomunikasi, yang jelas merugikan MI karena keterampilan komunikasi terkait erat dengan kemampuan bahasa. Untuk mengatasinya, menurut Macgregor dan Folinazzo, sebaiknya dosen sejak awal menunjukkan apa saja yang harus dilakukan MI sepanjang semester, lengkap dengan rubrik penilaian yang rinci dan konkret. Dengan demikian, MI mendapat kepastian tentang apa yang harus dilakukan untuk mencapai target nilai.
Dalam konteks kegiatan belajar mengajar sehari-hari, penyampaian materi menjadi kendala terbesar kedua yang dihadapi MI, karena dosen Indonesia terbiasa mengajar dengan metode ceramah. Lebih jauh, ceramah tersebut dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Yang perlu kita ingat di sini adalah, kualitas penyampaian materi tidak selalu berbanding lurus dengan kemampuan kita berbahasa Inggris. Tentu, keahlian berbahasa Inggris sangat membantu dalam berkomunikasi dengan MI. Namun, dosen tidak perlu banyak berbicara untuk menyampaikan gagasan. Penggunaan alat bantu visual seperti salindia dan pemutaran video bisa jadi metode efektif yang membantu MI memahami berbagai konsep tanpa dosen harus mengeluarkan banyak kata.
Dalam konteks pergaulan sosial, kendala bahasa menjadi permasalahan yang cukup menguras emosi, terlebih lagi jika kendala ini membawa MI menuju masalah lainnya, yaitu isolasi sosial. Ternyata, kebanyakan mahasiswa domestik yang tergabung dalam kelas internasional enggan untuk bergaul dengan MI dikarenakan perbedaan bahasa. Jika ada tugas kelompok, mahasiswa domestik cenderung memilih kelompoknya sendiri berdasarkan bahasa yang sama, sehingga meninggalkan MI sendirian atau sekelompok dengan rekan dengan bahasa yang sama. Ini dapat diatasi oleh dosen dengan cara mengelompokkan mahasiswa berdasarkan diversitas. Setiap kelompok harus memiliki anggota yang beragam, sehingga masing-masing anggotanya mendapat kesempatan untuk belajar mengakomodasi perbedaan tersebut. Sebelum menerima MI, universitas juga harus memastikan bahwa dosen, staf, dan mahasiswa domestik mendapatkan pelatihan lintas budaya yang cukup.
Bagaimana dengan pengalaman MI di luar kelas? Di sinilah Kantor Urusan Internasional (KUI) berperan. KUI dapat membentuk dan menjalankan program buddy system atau yang terkadang dinamakan buddy beyond borders, di mana KUI menawarkan kesempatan pada mahasiswa domestik yang tertarik dengan pertukaran budaya untuk menemani MI di luar kampus, memperkenalkan kebudayaan lokal, dan melatih MI untuk berbahasa Indonesia. Program buddy beyond borders juga memastikan bahwa MI dapat mempelajari berbagai nuansa budaya yang tidak diajarkan di kelas pertukaran budaya yang ia ikuti sebelum berangkat ke Indonesia. Ada banyak hal yang berpotensi menimbulkan gesekan budaya dan ketersinggungan, baik dari pihak MI maupun dari masyarakat setempat. Belajar menavigasi budaya lokal dengan terjun langsung ke masyarakat akan menjadi pengalaman bermanfaat yang bukan hanya memperkaya perspektif MI, namun juga perspektif komunitas lokal.
Kehadiran seorang buddy juga sangat membantu ketika MI berhadapan masalah finansial. Menurut hasil survei Temitayo, Ilfiandra, dan Saripah di tahun 2020, banyak MI mengalami masalah finansial karena terkadang mereka berbelanja di warung-warung di mana harga seringkali tidak dicantumkan dengan jelas pada barang yang akan dibeli. Tidak jarang penduduk lokal menaikkan harga secara sepihak hanya karena pelanggannya terlihat seperti turis manca negara. Kasus yang sama terjadi pada saat mereka mencari akomodasi atau tempat tinggal sendiri. Tentu saja ini menimbulkan kesan yang buruk ketika, setelah beberapa waktu berlalu, MI menyadari bahwa ia telah tertipu, dan anggaran yang seharusnya cukup untuk satu periode waktu tiba-tiba habis sebelum waktunya. Seorang buddy dapat memastikan ini tidak terjadi dengan menemani dan membimbing MI dalam konteks-konteks tersebut.