Menguji Otonomi Pendidikan Tinggi

Menguji Otonomi Pendidikan Tinggi

Selasa 21 Oct 2025 - 20:20 WIB
Oleh: Admin

 

PTN-BH juga menghadapi dilema antara menjaga idealisme tridharma perguruan tinggi dan tekanan untuk mencari pemasukan. Orientasi pasar terkadang lebih dominan, misalnya dengan membuka program studi populer berbiaya tinggi, sementara program strategis seperti filsafat, sastra daerah, atau ilmu-ilmu dasar kurang mendapat perhatian.

 

Fenomena ini menunjukkan bahwa otonomi yang diberikan sering tereduksi menjadi ruang komersialisasi. Padahal, otonomi sejatinya diarahkan untuk memperluas kreativitas akademik, memperkuat riset, dan mendorong pengabdian masyarakat. Jika dibiarkan, kampus bisa terjebak dalam logika korporasi yang mengedepankan laba, bukan lagi misi keilmuan dan kemanusiaan.

 

Di lapangan, meski telah diberi label mandiri, sebagian besar PTN-BH masih bergantung pada APBN. Dana riset, subsidi gaji dosen, hingga biaya operasional inti tetap datang dari negara. Upaya mencari dana non-APBN memang ada, seperti pengembangan unit usaha, kerja sama industri, dan donasi alumni, tetapi kontribusinya masih kecil.

 

Perbandingan dengan negara lain memperlihatkan kelemahan ini. Di Amerika Serikat, universitas publik memang otonom, tapi sudah lama mengandalkan kombinasi dana negara bagian, tuition fee, riset kompetitif, dan endowment alumni. Di Inggris, universitas berstatus badan hukum hampir sepenuhnya mandiri, meski konsekuensinya tuition fee tinggi. Sementara di Jerman dan Singapura, pemerintah tetap hadir secara kuat. Pendidikan tinggi dipandang sebagai public good yang tidak boleh diserahkan semata pada mekanisme pasar.

 

Posisi Pemerintah

 

Menyadari pelbagai persoalan yang dihadapi, pemerintah harus mengambil langkah korektif. Instrumen evaluasi disusun secara komprehensif, Indikator Kinerja Utama (IKU) diperketat, subsidi afirmatif melalui KIP Kuliah diperluas, dan mekanisme audit diperkuat. Alumni juga didorong ikut membangun endowment fund, sementara kemitraan dengan BUMN dan industri diperbanyak.

 

Strategi ini menunjukkan pilihan moderat, yakni negara tetap menjaga kendali, namun tidak mematikan ruang inovasi. Meski demikian, jurang antara PTN-BH dan PTN biasa masih menganga. Universitas di Jawa lebih mudah menjalin mitra industri, sementara kampus di luar Jawa tertinggal. Upaya pemerataan kualitas harus menjadi prioritas agar PTN-BH tidak sekadar memperbesar kesenjangan.

 

PTN-BH adalah eksperimen besar yang belum tuntas. Masa depan PTN-BH sangat bergantung pada bagaimana pemerintah, universitas, dan masyarakat menjaga keseimbangan antara otonomi, akuntabilitas, dan keadilan sosial.

Tags :
Kategori :

Terkait