Oleh karenanya, dalam berbagai kesempatan kerapkali saya ungkapkan bahwa kekayaan Negeri Serumpun Sebalai (Kepulauan Bangka Belitung) bukan timah, bukan keindahan alamnya, bukan sawit, tidak juga lada, bukan pula karet. Tapi kekayaan negeri kita ini adalah keharmonisan dan kebersamaan antar etnis, terutama Melayu dan Tionghoa baik yang ada di Pulau Bangka, Pulau Belitung maupun yang berada di luar daerah bahkan luar negeri.
Keindahan Bangka Belitung yang patut kita jual tidak hanya pengemasan keindahan alam secara terkonsep guna mengembangkan pariwisata, tapi juga budaya (local wisdom) serta pluralisme yang sangat Pancasilais. Slogan “fan ngin thong ngin jit jong” adalah nilai jual yang sangat tinggi jika mampu dikemas oleh pemerintah daerah kita di tingkat nasional, yang tentunya dengan menampilkan budaya kebersamaan dalam program yang sudah ditetapkan (terjadwal rutin oleh Pemda). Sayangnya hal seperti ini belum pernah ada dalam program pemerintah kita dari dulu hingga sekarang.
***
BEBERAPA persoalan diatas adalah persoalan sosial yang sangat berefek pada persoalan pembangunan SDM yang sangat berimbas pada pembangunan fisik (infrastruktur) di negeri ini. Dalam catatan pribadi saya, beberapa penyebabnya antara lain adalah di negeri ini terlalu banyak orang pintar maupun yang merasa pintar hanya bisa berkomentar tanpa aksi nyata (action), maraknya “tukang keroh aek”, tidak bersinergi antara pejabat Provinsi dengan Kabupaten/Kota, tingginya ego sektoral dikalangan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, serta pada masa sekarang ini kita kehilangan sosok figur “tukang ngulon” (pemimpin kharismatik) untuk membangun dan melakukan perubahan nyata di negeri ini.
Nah, semoga Pilkada ulang 2025 di Kota Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka yang tinggal beberapa hari lagi melahirkan sosok “tukang ngulon”!. Tapi ingat, Pilkada ulang ini terjadi karena kemenangan Kotak Kosong. Kotak kosong ada “tukang ngulon”-nya sehingga menjadi bola salju ditengah masyarakat. Ia lahir dari rahim rakyat dan menjadi kemenangan yang menginspirasi sekaligus mencatat sejarah indah. Itu ada karena ada “tukang ngulon”.
Salam Ngulon! (*)