Hak tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari semangat Bhinneka Tunggal Ika, nilai-nilai luhur Pancasila, serta prinsip-prinsip dasar konstitusi yang menjamin kebebasan beragama bagi seluruh rakyat Indonesia.
//Dari Toleransi ke Kewarganegaraan Setara
Selama ini, istilah toleransi sering kali dimaknai secara sempit dan pasif—seolah-olah kelompok mayoritas memiliki hak istimewa untuk “mengizinkan” kelompok minoritas menjalankan keyakinannya. Toleransi semacam ini menempatkan relasi antaragama dalam kerangka kekuasaan yang timpang: yang kuat memberi ruang, yang lemah bergantung pada kemurahan hati. Padahal, kerangka berbangsa dan bernegara kita telah meletakkan fondasi yang jauh lebih progresif dan setara.
Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah menurut keyakinannya. Ini bukan hak yang diberikan oleh komunitas tertentu kepada komunitas lain, melainkan hak asasi yang melekat secara konstitusional pada setiap individu sebagai warga negara. Maka, kebebasan beragama dan beribadah bukanlah hadiah, bukan pula belas kasihan, melainkan bagian dari martabat kewarganegaraan.
Dalam konteks ini, sudah saatnya kita melampaui narasi “toleransi” menuju paradigma baru: kewarganegaraan beragama yang setara (equal religious citizenship). Artinya, semua warga negara, apa pun agamanya, memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan negara dalam hal menjalankan keyakinan mereka.
Kesetaraan ini tidak hanya bermakna formal, tetapi juga harus diwujudkan dalam praktik sosial dan kebijakan publik—dari akses terhadap rumah ibadah, perlindungan hukum, hingga representasi dalam ruang-ruang pengambilan keputusan.
Salah satu isu krusial yang sering menjadi alasan penolakan terhadap rumah ibadah—khususnya bagi kelompok minoritas—adalah masalah izin pendirian, terutama yang diatur dalam SKB 2 Menteri tahun 2006. Tapi mari kita jernihkan: regulasi administratif bukanlah alasan untuk membatasi hak konstitusional.
Jika ada masalah dalam proses perizinan, seharusnya diselesaikan lewat mekanisme hukum dan mediasi, bukan dengan tekanan massa, intimidasi atau kekerasan. Justru pemerintah dan aparat harus memastikan bahwa regulasi ini digunakan untuk memfasilitasi, bukan menghalangi kebebasan beragama.