Oleh: Tuti Erawati
Guru SD Negeri 28 Manggar
Di tengah langit biru yang membentang di atas Pulau Belitung Timur, seekor “Garuda” baru saja mendarat. Bukan burung mitologis dari khazanah nusantara, tapi simbol ambisi besar dalam dunia pendidikan Indonesia yaitu Sekolah Unggulan Garuda. Sekolah ini di bangun dengan berdasarkan kurikulum berbasis STEM (Science, Technology, Engineering and Mathematics), sebuah sekolah yang di rancang sebagai kawah candradimuka bagi generasi unggul menuju Indonesia Emas 2045.
Namun, seperti dua sisi mata uang, kehadiran sekolah ini membawa harapan sekaligus pertanyaan pesimis kita, akankah sang Garuda terbang tinggi bersama seluruh rakyat atau hanya membawa segelintir anak terpilih dan meninggalkan lainnya tertatih mengejar?
Berdasarkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) 2024, ada 35% SMA/SMK/MA di Kepulauan Bangka Belitung yang mengalami kekurangan muridnya, tentu jumlah yang sangat signifikan. Di wilayah timur ini saja, bahkan ada lembaga sekolah swasta dengan kurang dari 10 murid per jenjangnya. Bukan sekadar angka, ini adalah sinyal bahaya bagi kita semua sebuah ancaman penutupan atau penggabungan sekolah menjadi nyata di depan kita.
Jika kita tidak serius mencermati kondisi ini, adanya kehadiran Sekolah Unggulan Garuda bisa menjadi “pisau bermata dua”. Ia bisa jadi matahari pagi atau justru bayang-bayang yang mematikan cahaya di tempat lain. Lebih ironisnya lagi, bersamaan dengan berdirinya sekolah unggulan ini, muncul pula “sekolah rakyat”. Apakah ini seleksi alami dalam pendidikan atau justru penegasan ketimpangan?.
STEM, Mimpi Global, Realita Lokal?
Sekedar pengetahua kita benar adanya negara seperti Finlandia, Korea Selatan dan Jepang sudah lama memetik hasil manis dari pendekatan STEM ini. Seperti yang pernah dikatakan futuris Michio Kaku, masa depan bukan milik mereka yang sekadar mengikuti arus, tapi milik mereka yang memahami dan memanfaatkan sains serta teknologi.
Namun semua berpulang pada kita semua saat ini bagaimana dengan kesiapan Belitung Timur?. Sedangkan menurut data Kominfo 2023, hanya 64% sekolah di Babel memiliki akses internet stabil. Bahkan, kurang dari 40% guru baru mendapatkan pelatihan STEM yang memadai.
Sementara itu, tanpa ekosistem yang kuat seperti guru berkualitas, laboratorium modern dan infrastruktur teknologi Sekolah Unggulan Garuda berpotensi menjadi istana megah di tengah padang pasir pendidikan. Semoga ini hanya kegalauan penulis dan pembaca semata. Tapi jangan di panadang sebelah mata.
Walau keseriusan pemerintah melalui Kementerian Pendidikan telah mengalokasikan Rp.300 miliar untuk pembangunan Sekolah Unggulan Garuda secara nasional. Salah satunya ada di sana adalah Belitung Timur yang masuk gelombang pertama dengan dukungan penyediaan lahan strategis dan SDM lokal yang memadai. Semoga tidak seperti yang sering terjadi, apa yang tertulis di atas kertas belum tentu berdiri kokoh di lapangan.
Peran Dinas Pendidikan Beltim dan Babel harus lebih dari sekadar regulator. Ia harus menjadi konduktor orkestra pendidikan. Sekolah Garuda yang di gadang tidak sekedar menjadi menara gading, tapi justru menjadi pusat sinergi yang menghidupkan sekolah-sekolah di sekitarnya juga dan Indonesia pada umumnya.
Berita adanya Sekolah Garuda ini bagi masyarakat menyambutnya antara bangga dan cemas. terbukti sebuah diskusi dengan orang tua di Kecamatan Manggar dan Dendang, muncul dua rasa yang kuat yakni kebanggaan dan kekhawatiran. Banyak yang bertanya-tanya, apakah sekolah ini benar-benar untuk anak-anak mereka atau hanya untuk “yang terpilih”? Kita tunggu saja waktu yang menjawabnya.
Analisa lainnya adalah akan muncul satu sekolah memiliki fasilitas kelas dunia, sementara yang lain kekurangan meja dan guru. Sebuah kesenjangan akan sangat mencolok nantinya. Maka, jika ingin menjadi katalis perubahan, Sekolah Garuda harus menjadi cahaya untuk semua, bukan cahaya eksklusif.
Solusi buat sahabat Garuda dan sinergi inklusif itu, hemat penulis dapat dilakukan misalnya melalui program “Sahabat Garuda”, di mana setiap sekolah unggulan wajib bermitra dengan lima sekolah lokal. Bentuk kolaborasi berbasis kemitraan bisa berupa pelatihan guru, pertukaran murid, dan pendampingan pemanfaatan teknologi.
Selain itu, perlu ada dukungan fasilitas laboratorium keliling, program “Guru Berkarya” (guru dari sekolah biasa mengajar paruh waktu di Garuda) dan kampanye STEM akar rumput dari workshop komunitas, media sosial, hingga proyek bioteknologi sederhana di rumah dapat diterapkan secara berkesinambungan.
Sehingga nantinya pendekatan STEM bukan hanya milik “anak pintar” saja. Sebab ini merupakan pendekatan pembelajaran yang bisa meningkatkan critical thinking, problem solving dan kreativitas untuk semua anak, tanpa ada di skriminasi.
Masa Depan Babel ke Mana Arahnya?
Adanya sekolah garuda ini, sebagai alternatif lain bagi pilihan murid bersekolah. Namun setidaknya bisa merangkul kebutuhan mendasar lokal. Masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung tidak bisa terus-menerus bergantung pada hasil tambang timah saja.
Masa depan sesungguhnya berada di pariwisata yang berkelanjutan, pertanian cerdas dan teknologi yang berbasis lokal. Sebagusnya STEM lah yang mampu menjadi penggeraknya kelak. Tapi Garuda harus menarik seluruh gerbong pendidikan lokal terlebih dahulu, bukan terbang sendiri.
Akhirnya, apakah waktunya sudah tepat?. Jawabannya tergantung pada niat dan strategi implementasi Sekolah Garuda. Bila kehadirannya dibarengi upaya pemerataan dan afirmasi, maka ini adalah momentum emas bagi masyarakat Bangka Belitung.
Tapi jika dibiarkan berdiri sendiri jawabannya jelas, belum saatnya. Terkenang ucapan Bapak pendidikan kita bahwa “Pendidikan harus mengangkat martabat manusia, bukan hanya mencetak angka-angka”. Sebab Garuda telah mendarat. Tapi pertanyaannya sekarang. Apakah kita semua siap terbang bersama?
Kategori :