GEDUNG NASIONAL TOBOALI (Bagian Empat)

GEDUNG NASIONAL TOBOALI (Bagian Empat)

Senin 24 Mar 2025 - 19:59 WIB
Reporter : Admin
Editor : Syahril Sahidir

Oleh: Dato’Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung

Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

 

USULAN mosi dari ketua SENI (Serikat Nasional Indonesia) Toboali, A. Djailani Akin tentang pencabutan pelarangan penggunaan warna merah putih di muka umum dan mendapat persetujuan seluruh pengurus SENI dalam rapat pleno Pengurus Besar SENI pada tanggal 28 Augustus 1949 di Pangkalpinang. 

 

PENCABUTAN larangan penggunaan warna merah putih di muka umum dikabulkan mengingat adanya Keputusan Konferensi Inter-Indonesia yang dilaksanakan di Jakarta dari tanggal 31 Juli sampai 2 Augustus 1949 yang menyatakan Bendera RIS (Republik Indonesia Serikat) ialah Bendera Merah Putih. Selanjutnya memperhatikan, komunike Pemerintah Indonesia tanggal 23 Agustus 1949 jang berisikan pengumuman Pemerintah Indonesia tentang pencabutan sebagian peraturan-peraturan larangan terhadap pemakaian warna merah putih dan pelahiran, pengharapan pemerintah, bahwa hal pencabutan pelarangan penggunaan warna merah putih di muka umum dalam waktu yang singkat dapat terjadi dipelbagai bagian bagian lainnya di Indonesia. Mosi yang menuntut pencabutan sebahagian peraturan-peraturan larangan terhadap pemakaian warna merah putih di Pulau Bangka kemudian disampaikan kepada Dewan Bangka, Residen Bangka Belitung, C. Lion Cachet (Residen setelah Agresi Militer Belanda I hingga Pengakuan Kedaulatan Tahun 1946-1949), dan kalangan Pers. 

Menjelang pengakuan kedaulatan negara (souvereniteit overdracht) dari Pemerintah Belanda ke Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, partai-partai politik juga berkembang di Pulau Bangka. Salah satu partai yang berdiri di Toboali dalam rapat yang dihadiri 150 orang dan dipimpin oleh Djailani Akin, adalah Partai Serikat Islam Indonesia (PSII). Djailani Akin mendapat amanat tertulis dari Jacob Achmad atas nama Panitia Pembangunan PSII Sumatra Selatan di Palembang untuk mendirikan PSII di Toboali. Berdasarkan Laporan Residen Bangka Belitung Nomor 509, tanggal 13 Desember  1949, Partai Nasional Indonesia (PNI) juga hadir di Toboali diketuai oleh Supardi. Berdirinya banyak partai dikhawatirkan akan terjadi perbedaan pandangan dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan di kalangan aktivis politik di Pulau Bangka termasuk di Toboali. Kedekatan ideologis antara Partai Nasional Indonesia (PNI) dan SENI di Pulau Bangka mendorong sebagian besar pengurus SENI bergabung dalam PNI dan kemudian menjadi pengurus yang militan, namun tidak dengan di Toboali, Ketua SENI, A. Djailani Akin justru memilih bergabung dengan PSII.  Pembentukan partai partai politik di Indonesia sebagai sarana dan tonggak demokrasi ditetapkan berdasar Maklumat Pemerintah Tanggal 3 November 1945. Di samping itu maklumat bertujuan untuk rencana pelaksanaan Pemilu pada Tahun 1946, akan tetapi karena kondisi negara dalam keadaan genting dan berbahaya, maka Pemilu tersebut gagal diselenggarakan.

Dalam Laporan Residen Bangka Belitung Nomor 509 tanggal 13 Desember 1949 juga digambarkan situasi dan perkembangan politik di Pulau Bangka setelah persetujuan pada Konferensi Meja Bundar tentang pengakuan kedaulatan (Souvereniteit overdracht) terhadap Republik Indonesia.  Dewan Bangka (Bangka Raad) mengeluarkan resolusi dalam sidangnya pada tanggal 23 November 1949 di Pangkalpinang. Isi resolusi antara lain tentang ketidaksetujuan terhadap persetujuan KMB, khususnya mengenai wilayah Irian yang tetap berada dalam kekuasaan Belanda karena dianggap tidak sesuai dengan cita cita Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Augustus 1945, bahwa wilayah Indonesia merdeka adalah yang meliputi seluruh Indonesia, yaitu seluruh daerah bekas Hindia Belanda,  jadi salah satu butir KMB, tidak atau belum selesai dengan kehendak seluruh rakyat Indonesia. Dewan Bangka menerima isi persetujuan KMB seluruh dan pada dasarnja ("als geheel"), dan menyatakan kekecewaan yang sangat atas keputusan dalam persetujuan KMB, yang khususnya mengenai masalah Irian. Dewan Bangka kemudian mengeluarkan resolusi: (1). Mendesak kepada semua pihak yang bersangkutan dengan perundingan Indonesia-Belanda, selanjutnya agar: a. perundingan mengenai masalah Irian segera dimulai sesudah penyerahan (pengakuan) kedaulatan kepada RIS dilakukan. b. Sungguh-sungguh jangka waktu Satu tahun itu dianggap sebagai waktu yang paling lama (maksimal) dan sedapat mungkin masalah Irian itu diselesaikan sebelum satu tahun; (2). Menyatakan kehendak rakyat seluruhnya, bahwa Irian, selambat-lambatnya sebelum Tahun 1950 berakhir, harus telah dimasukkan ke dalam daerah dan di bawah kedaulatan Republik Indonesia Serikat. 

Di samping Dewan Bangka, PSII Bangka juga mengeluarkan Manifes Politik Partai Serikat Nasional Indonesia pada tanggal 24 November 1949 di Pangkalpinang yang intinya sama dengan resolusi Dewan Bangka yaitu menuntut penyerahan kedaulatan yang penuh dan tak bersyarat kepada Republik Indonesia Serikat yang meliputi seluruh Kepulauan bekas Hindia Belanda sebelum Tahun 1950. Salah satu Manifes Politik PSII yang menunjukkan semangat republiken adalah tetap memperjuangkan wilayah Bangka masuk dalam Republik Indonesia dalam lingkungan Republik Indonesia Serikat. Manifes politik ini ditandatangani oleh Ketua Umum A. Samad dan Sekretaris Romawi Latief.

Semangat nasionalisme semakin tinggi dan menggelora setelah pengakuan kedaulatan Negara Republik Indonesia Serikat tanggal 27 Desember 1949 dan kembalinya wilayah Bangka ke Republik Indonesia. Satuan Kenegaraan Bangka dengan presidennya Abang Muhammad Yusuf Rasidi tidak berlangsung lama, setelah sekitar 4 (Empat) bulan berpisah dengan Republik Indonesia, Bangka dan Belitung disatukan kembali dalam Negara Republik Indonesia. Bangka kembali menjadi bagian Negara Republik Indonesia ditetapkan dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) Nomor 141 Tahun 1950, tentang Penghapusan Daerah Bangka Sebagai Daerah Bagian Republik Indonesia Serikat dan Bergabung ke dalam Wilayah Republik Indonesia, 4 April 1950 (ANRI, Keppres RIS Nomor 128). Pada Tanggal 21 April 1950 datanglah ke Kota Pangkalpinang Bangka, Perdana Menteri Dr. Halim (menjadi Perdana Menteri sejak Tanggal 21 Januari 1950 sampai Tanggal 5 September 1950), beserta rombongannya yang terdiri dari 18 orang, diantaranya hadir Dr. Mohd. Isa, Gubernur Sumatera Selatan. Pada tanggal yang sama bertempat di keresidenan (sekarang rumah dinas Walikota Pangkalpinang) diserahkan pemerintahan atas Daerah Bangka kepada Gubernur Sumatera Selatan. Dengan penyerahan tersebut, maka bubarlah Dewan Bangka (Bangka Raad). Sehari kemudian pada Tanggal 22 April 1950 ditetapkan R. Soemardjo sebagai Residen Bangka Belitung dengan kedudukan ibukota keresidenan di Kota Pangkalpinang. Pulau Bangka selanjutnya ditetapkan menjadi kabupaten yang terdiri atas 5 kewedanaan yaitu; Kewedanaan Bangka Barat beribukota di Mentok, Kewedanaan Bangka Utara beribukota di Belinyu, Kewedanaan Bangka Selatan beribukota di Toboali, Kewedanaan Bangka Tengah beribukota di Pangkalpinang, Kewedanaan Sungailiat beribukota di Sungailiat. 

Semangat bergabungnya kembali ke Republik Indonesia dan terbentuknya kewedanaan Bangka Selatan yang beribukota di Toboali ditandai dengan pengibaran Bendera Merah Putih di mana-mana dan pengumpulan dana bersama untuk pembangunan Gedung Nasional oleh Panitia Penjokong Republik Indonesia (PPRI).  Pembangunan Gedung Nasional Toboali dipimpin oleh Wedana Bangka Selatan yang berkedudukan di Toboali yaitu R. Abdullah. Pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai dengan 17 Agustus 1950, pada wilayah-wilayah administratif pemerintahan, termasuk di Toboali, masih banyak menggunakan istilah dan simbol-simbol yang berbau Kolonial Belanda. Pemerintah Republik yang baru terbentuk belum memiliki bangunan-bangunan yang merupakan buatan hasil jerih payah kemerdekaan Republik Indonesia dan menjadi kebanggaan nasional. Gedung-gedung pemerintahan dan fasilitas kemasyarakatan yang ada adalah gedung yang dibangun dan bekas milik Pemerintah Hindia Belanda. Kemudian terdapat juga bangunan-bangunan milik vremde osterlingen atau milik orang Timur Asing. Dalam semangat kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan terbentuknya kewedanaan Bangka Selatan dengan ibukota di Toboali, didirikanlah secara gotong royong oleh masyarakat dengan dana swadaya satu Gedung Nasional murni milik masyarakat yang merdeka dan berdaulat. Sumbangan tentu saja diberikan masyarakat bukan hanya dalam bentuk uang, namun ada yang berbentuk material bangunan. Pembangunan Gedung Nasional Toboali pengerjaan dilaksanakan oleh aanemer  asal Toboali Lie Yung, sementara desain kontrusksinya oleh karyawan BTW (Banka Tin Winning) Toboali bagian bangunan yakni M. Yusuf Bahir. Singkatan nama Muhammad Yusuf Bahir ditulis di bagian bawah kolom ke-4 dari kanan atau kolom pinggir teras yang menyatu dengan dinding bangunan utama, terdapat singkatan  MYB, kepanjangan M. Yusuf Bahir, nama sang arsitek. (Bersambung/***)

Tags :
Kategori :

Terkait