GEDUNG NASIONAL TOBOALI (Bagian Satu)

Senin 03 Mar 2025 - 21:23 WIB
Reporter : Admin
Editor : Jal

Dato’Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung

Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

 

Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno pada Tanggal 21 Februari 1949, atau 16 hari setelah tiba di muara Pangkalbalam, Pangkalpinang pulau Bangka pernah berkata, bahwa: “rakyat Bangka sangat Republikein dan sangat cinta kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia”….dst.  Setelah Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat (RIS), Mohammad Hatta, menerima “souvereniteit overdracht”, yang biasa diterjemahkan Presiden Sukarno sebagai “pengakuan kedaulatan”, bukan “penyerahan kedaulatan”, dari Ratu Juliana pada Tanggal 27 Desember 1949, satu persatu apa yang disebut “negara bagian” itu kembali bergabung dengan Republik Indonesia, yang beribukota di Yogyakarta, atau membubarkan dirinya. Pada bulan April 1950 tercatat hanya tinggal Tiga “negara bagian” dari R.I.S., yaitu Republik Indonesia (dengan ibukota Yogyakarta, dan akting Presiden Mr. Assat), Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur, yang resmi masih berdiri. Akhirnya, setelah Parlemen RIS menerima “mosi integral Mohammad Natsir”, maka pada Tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali ke negara kesatuan. Begitulah babak pertama sebuah babakan sejarah yang dramatis dalam usaha mengayuh biduk kemerdekaan telah dilalui (Gunawan, dkk, 2015:20).

 

Salah satu alasan kuat negara-negara dan daerah-daerah bagian serta satuan kenegaraan yang tegak berdiri sendiri (termasuk Bangka dan Belitung) di dalam Republik Indonesia Serikat ingin menggabungkan wilayahnya ke dalam Republik Indonesia adalah martabat Republik Indonesia yang sudah besar sebagai pembela kemerdekaan Indonesia yang berjaya. Citra semacam ini cenderung meningkat karena tingkat keamanan dan ketertiban yang relatif tinggi, efisiensi pemerintah, dan tidak adanya korupsi yang dapat dipertahankan di dalam daerahnya. Hal ini jauh berbeda dari negara dan daerah bagian lainnya di dalam Republik Indonesia  Serikat (Kahin, 2013:630). Kebanyakan negara dan daerah bagian lainnya di dalam Republik Indonesia Serikat tidak memiliki syarat-syarat untuk hidup terus sebagai sesuatu negara (Lohanda, dkk, 1986:59). 

 

Mengingat semangat Rakjat Bangka njata bersemangat republikein, njata berkehendak Bangka masuk dalam daerah Republik, sebagaimana yang disampaikan Presiden Soekarno, Satuan Kenegaraan Bangka dengan presidennya: Abang Muhamad Yusuf Rasidi tidak berlangsung lama, dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) Nomor 141 Tahun 1950 Tanggal 4 April 1950 tentang Penghapusan Daerah Bangka sebagai Daerah Bagian Republik Indonesia Serikat dan bergabung ke dalam wilayah Republik Indonesia (ANRI, Keppres RIS Nomor 128). Setelah sekitar 4 (Empat) bulan berpisah dengan Republik Indonesia, Bangka dan Belitung disatukan kembali dalam Negara Republik Indonesia. Konstitusi Republik Indonesia Serikat juga tidak berlangsung lama dan hanya berlangsung singkat, karena sejak Tanggal 17 Agustus 1950 Negara Federal RIS dikembalikan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), akan tetapi, Undang-Undang Dasar yang digunakan bukan Undang-Undang Dasar 1945 melainkan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950 terdiri atas 146 Pasal). 

 

Negara-negara federal dan satuan kenegaraan yang tegak berdiri  sendiri,  kemudian  memilih  untuk  kembali  bergabung  ke  dalam  wilayah  Republik Indonesia. Sehingga, pemerintah dan parlemen Republik Indonesia setelah pembentukan Republik Indonesia Serikat lebih banyak disibukkan dengan adanya penyatuan kembali berbagai negara dan daerah bagian Republik Indonesia Serikat ke dalam Republik Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia Serikat dalam rangka mempermudah penggabungan atau penyatuan kembali negara-negara bagian dan satuan kenegaraan yang tegak berdiri sendiri ke dalam Republik Indonesia, kemudian menetapkan Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1950, Tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Undang-undang tersebut, utamanya menghendaki digabungkannya wilayah RIS dengan Republik Indonesia. 

 

Kembalinya bentuk negara menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia disambut gembira oleh seluruh masyarakat Indonesia termasuk di pulau Bangka dan pulau Belitung. Hal-hal yang berbau kolonial Belanda mulai dihilangkan, dan diganti dengan yang bersifat nasional Indonesia. Perusahaan tambang Timah milik Pemerintah Hindia Belanda di pulau Bangka, BTW (Banka Tinwinning Bedrjff), dan di pulau Belitung GMB (Gemeenschapplijke Mijnbowmaatscppij Billiton) serta di pulau Singkep NV. SITEM (Singkep Tin Maatschappij) dinasionalisasikan pada Tahun 1953 menjadi perusahaan milik negara PN Timah. Demikian pula sekolah-sekolah yang dikelola oleh pemerintah Belanda seperti HCS (Hollandsch Chineesche School) dan ELS (Europe Lagere Schoo), rumah sakit, dan perkantoran lainnya diambil alih dan dinasionalkan menjadi milik Republik Indonesia.

 

Pada masa setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai dengan 17 Agustus 1950, pada wilayah-wilayah administratif pemerintahan, termasuk di Pangkalpinang dan di wilayah lain pulau Bangka dan Pulau Belitung, masih banyak menggunakan istilah dan simbol-simbol yang berbau Kolonial Belanda. Pemerintah Republik yang baru terbentuk belum memiliki bangunan-bangunan yang merupakan buatan hasil jerih payah kemerdekaan Republik Indonesia. Gedung-gedung pemerintahan dan fasilitas kemasyarakatan yang ada adalah gedung yang dibangun dan bekas milik Pemerintah Hindia Belanda, kemudian terdapat juga bangunan-bangunan milik vremde osterlingen atau milik orang Timur Asing. Dalam semangat kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia Tanggal 17 Agustus 1950, di beberapa daerah didirikanlah secara bergotong royong oleh masyarakat dengan dana swadaya gedung-gedung nasional murni milik masyarakat yang merdeka dan berdaulat. Ada 3 jenis pembangunan monumental waktu itu yakni Tugu Kemerdekaan, Masjid dan Gedung Nasional. Tugu kemerdekaan berada di Mentok, Pangkalpinang dan Sungailiat. Pembangunan masjid hanya ada di Pangkalpinang, yakni Masjid Jamik. Dalam proses pembangunan masjid, bahkan Wakil Presiden Mohammad Hatta turut menyumbang dana pembangunan. Sementara pembangunan Gedung Nasional dilaksanakan di Kota Toboali pada Tahun 1951, Kota Pangkalpinang pada Tahun 1953 dan Kota Tanjungpandan dimulai pada Tahun 1953 dan diresmikan pada pada tanggal 9 Agustus 1958. Pembangunan Gedung Nasional di Pangkalpinang baru terselesaikan Tahun 1953 dikarenakan pada saat yang bersamaan masyarakat Pangkalpinang juga sedang melaksanakan renovasi tahap pertama pembangunan Masjid Jamik. Nilai terpenting dari pembangunan 3 bangunan monumental di atas adalah semangat kecintaan pada Republik Indonesia, cinta kemerdekaan yang diwujudkan dalam kebebasan berekspresi, kebersamaan membangun negeri dan menjunjung tinggi harkat martabat sebagai bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat atas negerinya. Fasad dan arsitektur Gedung Nasional yang dibangun umumnya hampir memiliki kesamaan satu dengan lainnya. Pada gedung-gedung Nasional inilah kemudian acara pemerintahan, acara kemasyarakatan di wilayah-wilayah kewedanaan dilangsungkan. 

Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler

Senin 03 Mar 2025 - 21:23 WIB

GEDUNG NASIONAL TOBOALI (Bagian Satu)

Senin 03 Mar 2025 - 21:24 WIB

Kapolres Ngada Ditangkap Mabes Polri

Senin 03 Mar 2025 - 21:26 WIB

Biaya MBG Butuh 25 Triliun per Bulan

Senin 03 Mar 2025 - 21:21 WIB

Menyegerakan Kebaikan