Oleh Rusmin Sopian
Matahari perlahan memanjat langit. Sinar garangnya tak sepenuh hati menerangi semesta. Ada rasa enggan yang menyelinap dalam cahaya terangnya.
Lalu lalang kendaraan roda dua dan empat mulai meramaikan jalanan. Debu dan suara knalpot saling berkejaran. Penuhi jalanan kehidupan. Derap langkah para petani menghiasi jalan setapak menuju lahan kehidupan.
Anak-anak masa depan bangsa mulai berhamburan meninggalkan rumah kedamaian menuju rumah pengetahuan. Para pemikul beban hidup keluarga pun berseliweran menuju tempat mengais rezeki.
Sementara itu, di sebuah rumah mewah dengan arsitektur terkini, seorang lelaki setengah baya sedang asyik membaca koran lokal. Dahinya berkerut. Sesekali wajahnya tampak memerah.
Dan tiba-tiba, koran yang dibacanya langsung dihempaskan di meja.
"Sial. Belum tahu siapa aku," umpat lelaki yang dikenal dengan julukan Pak Besar.
Dalam hitungan detik, diraihnya sebuah handphone merek terkini. Beberapa digit nomor terpencet.
Tut...tut...tut...
Tersambung.
"Selamat pagi. Dengan Surat Kabar Mingguan Kabar Burung. Ada yang bisa dibantu? ," sapa seorang wanita di ujung telepon dengan suara lembut.
"Saya Pak Besar. Bisa bicara dengan Pak Liluk," jawabnya dengan suara sangat keras.
"Maaf Pak. Beliau belum di tempat. Ada pesan?" Tanya seorang wanita yang merupakan Sekretaris redaksi Surat Kabar Mingguan Kabar Burung.
"Sampaikan kepada Pak Liluk. Perjanjian hari ini batal. Batal," kata Pak Besar langsung mematikan telepon.