BATIN OELIN DAN KAMPUNG PARIS

Senin 05 Feb 2024 - 17:03 WIB
Reporter : Akhmad Elvian
Editor : Syahril Sahidir

 

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung

Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia 

 

SEWAKTU Kesultanan Johor, Kesultanan Minangkabau dan Kesultanan Banten berkuasa di pulau Bangka pada sekitar awal dan pertengahan abad 17 Masehi, sudah berkembang beberapa batin di wilayah Bangka bagian Selatan.

-------------

SEPERTI Batin Oelin (dekat sungai Olin/Ulin), beberapa batin di dekat sungai Kepo seperti Batin Gerunggang, Batin Jiwad atau Batin Balaikambang dan Batin Ketapik (Elvian, 2010:65), kemudian Batin Nyireh (dekat sungai Nyireh), Batin Balar (dekat sungai Balar) dan Batin Pakuk. Batin Balar dan Batin Pakuk, oleh Bupati Nusantara, raja muda (juwaraja) Kesultanan Banten yang berkuasa di pulau Bangka, kemudian dikembangkan sebagai wilayah kepatehan yang dipimpin oleh seorang pateh/patih atau proatin (wakil pateh/patih) yang membawahkan masing-masing sekitar Lima batin (Wieringa, 1990:71).

Pada masa kekuasaan Inggris di Pulau Bangka (Tahun 181-1816 Masehi) terdapat beberapa pemukiman penduduk di pesisir Barat bagian Selatan pulau Bangka dimulai dari Toobooallie menuju Minto (Mentok); pada jarak sekitar delapan mil, terdapat sungai kecil yang disebut Neerie (Nyireh), pintu masuk pada muara sungai menuju pemukiman penduduk sangat dangkal, populasi penduduknya (batin Neerie) dimasukkan ke dalam catatan di Toobooallie. Tujuh mil selanjutnya dari Neerie adalah sungai Oelin (Olin/Ulin). 

Sungai ini juga termasuk sungai kecil. Sekitar Delapan mil dari muara sungai terdapat benteng kecil untuk keamanan demang atau jenang, atau kepala pribumi, dan orang-orangnya ditempatkan di sini. Satu mil di luar muara sungai Oelin hanya dapat dilayari oleh sampan atau kolek (kano). Ada Duabelas Campoongs (kampung) di lingkungan tempat ini (batin Oelin), dengan populasi penduduk sebesar 267 orang, yang terdiri dari segala usia. Mereka telah menghasilkan Seratus Limapuluh peculs (pikul) Timah dalam setahun, dari Lima tambang kecil, mereka juga menawarkan diri untuk mengangkut Timah yang kemudian dikirim ke Minto atau Toobooallie. Mereka juga mengumpulkan setiap tahunnya sekitar Duapuluh peculs lilin (Court, 1821:208, 209).

Toponimi atau sejarah penamaan sungai Oelin dan Batin Oelin karena secara spesifik pada wilayah geografis sungai dan batin ini banyak ditumbuhi pohon Oelin. Kayu Oelin merupakan salahsatu jenis kayu terbaik di pulau Bangka. Penggunaan Kayu Oelin di pulau Bangka dapat ditemukan di situs Kotakapur yaitu kepingan kayu sisa-sisa perahu dan dermaga kapal yang terbuat dari jenis kayu Besi atau kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri) yang diperkirakan berasal dari Abad 7 Masehi, selanjutnya  penggunaan Kayu Oelin dapat dilihat pada bangunan Masjid Jamik Mentok yang kayunya sebagian disumbangkan oleh sultan Susuhunan Ahmad Najammudin I Adikusumo (Tahun 1757-1776). Sungai Oelin dan batin Oelin dikenal dalam sejarah karena dalam catatan sejarah Bangka diketahui, bahwa dimulainya eksplorasi besar-besaran terhadap biji Timah di sungai-sungai di pesisir Barat pulau Bangka sejak Timah ditemukan dalam deposit yang besar seperti di sungai Oelin dan sungai Bangkakota pada Tahun 1709 Masehi. Akan tetapi tidak hanya Tiga data Tahun 1709, 1710, 1711, penemuan Timah di Bangka, terdapat sejumlah versi bagaimana penemuan Timah di Bangka. Karena kandungan biji Timah mendekati permukaan tanah, Timah tidak sulit untuk ditemukan (Heidhues, 2008:9). Dalam catatan sesungguhnya pada Tahun 1667, diperkirakan Timah dari Bangka untuk pertama kalinya masuk pasaran Amsterdam (Sujitno, 1996:42) (Batavia, Tanggal 25 Januari 1667, …Yang Mulia..., Tahun lalu, dst...., 

Sebagai balast kapal yang kembali pulang ke Negeri Belanda oleh mualim dipakai Timah Malaxse seberat 100.000 pon. Berkat penjelasan dari Utusan Kamar Dagang Amsterdam yang juga ahli mineral karena pernah membuat karya tulis tentang Timah Inggris, kami yakin bahwa Timah itu sangat berharga...dst).

Catatan Andaya menyatakan keberadaan Timah di Bangka telah dikenal setidaknya sejak akhir abad ketujuh belas, dan meskipun tidak pernah diekspor dalam jumlah besar, itu tampaknya telah digunakan dalam pembuatan picis serta amunisi. Timah sudah dihargai sebagai pemberat di kapal menuju Eropa dan memiliki pasar yang bagus di India. Sebelum VOC belajar tentang deposito Timah Bangka, kapal-kapal Cina sudah berlayar membeli Timah. Kapal Palembang menuju Jawa juga memuat Timah seolah-olah sebagai pemberat, tetapi sebenarnya untuk penjualan di Batavia (Andaya, 1993:185). Oleh sebab itu pada Tahun 1709, Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago telah memerintahkan orang-orang Melayu dan Cina untuk membayar upeti dalam bentuk Timah (Encyclopedia van Nederlandsch-Indie, Vol. I, The Hague: 

BACA JUGA:BATU BERANI DAN BIJIH BESI DI PAKUK

Martinus Nijhoff, 1917, hlm. 35). Sultan Palembang Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago pada Tahun 1709 membuat ketentuan, bahwa mereka yang kawin (pribumi Bangka) harus menyerahkan 10 kilogram Timah pada Sultan, sebagai tanda tunduk dan patuh (Sujitno, 1996:59). Pembayaran pajak dengan menggunakan barang seperti Timah disebut dengan sistem Tiban. Pajak Timah ini pada masa Sultan Ahmad Najamuddin I Adikesumo ( memerintah Tahun 1757-1776 Masehi) diwajibkan kepada Pribumi Bangka seberat 50 Kati (1 Kati=6 ¼ ons). Sejak masa ini, Timah mulai menjadi sumber penghasilan utama dan sumber kekayaan bagi Kesutanan Palembang Darussalam di samping Lada. Pada Tahun 1642 Masehi masa Kerajaan Palembang diperintah Pangeran Sedo ing Kenayan, kerajaan Palembang telah mengadakan ikatan perjanjian perdagangan Lada dengan VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) di Batavia dan pada Tahun 1710 Masehi, ikatan perjanjian Lada tersebut kemudian diperbaharui pemerintah Hindia Belanda dengan perdagangan Timah (Alfiah, dkk, 1983/1984:28). Pada Tahun 1722, tercapai kesepakatan antara kongsi dagang Belanda VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) dengan Sultan Ratu Anum Kamaruddin dari Palembang terkait monopoli penjualan Timah. Kesepakatan ini membuka pintu lebih lebar bagi Belanda untuk memborong Timah dari wilayah-wilayah di Bangka, termasuk Toboali (ANRI, Laporan K. Heynis, Residen Bangka dan Palembang kepada Comissarissen mengenai distrik Blinjoe, Soengi Liat, Marawang dan Pankal Pinang Tahun 1818).

Kategori :

Terkait

Senin 25 Nov 2024 - 22:03 WIB

LOKOMOBIL

Senin 11 Nov 2024 - 22:12 WIB

PERTUNJUKAN WAYANG DI BANGKA

Senin 04 Nov 2024 - 20:47 WIB

PERTEMPURAN TADJAUBELAH