KORANBABELPOS.ID.- Sidang kasus korupsi tata niaga timah dengan terdakwa Helena Liem dan Mochtar Riza Pahlevi kembali digelar di PN Tipikor, Jakarta, Rabu, 20 November 2024. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan saksi ahli. Salah satunya adalah Elly Rebuin, Aktivis lingkungan dan tokoh Bangka Belitung (Babel).
Sebagai warga asli Bangka Belitung, Elly cukup prihatin terkait framing penambangan ilegal yang dilakukan masyarakat Bangka Belitung.
BACA JUGA:Saksi Ahli di Sidang Tipikor Kasus Timah: Uang BUMN Bukan Uang Negara
“Kalau begitu, maka rakyat jadi penonton di rumah sendiri,” ujar Elly.
Dalam menanggapi adanya isu penambang liar, Pemda serta PT Timah terus mencari Solusi. Karena itu tanah masyarakat. PT. Timah sebelumnya dianggap The New VOC. Jadi kerjasama kemitraan juga sudah ada sejak tahun 2000.
Dalam keterangannya di persidangan, Elly Rebuin menilai angka kerusakan lingkungan yang disajikan oleh Prof Bambang Hero Saharjo (Guru Besar Kehutanan IPB) tidak masuk akal. Dalam penjelasannya sebagai saksi ahli yang dihadirkan penasehat hukum, produksi logam timah PT Timah tahun 2015-2022 sebanyak 283.257 ton.
Harga rata-rata timah dari London Metal Exchange (LME) dari tahun 2015-2022 berkisar di angka US$21.763. Tertinggi pada tahun 2021 sebesar US$ 31.382, sementara terendah pada tahun 2015 sebesar US$16.083. Nilai tukar Rupiah dari tahun 2015-2022 berkisar Rp14.158/ Dolar.
BACA JUGA: Saksi Ahli Dian Puji: Kerugian PT Timah tidak Termasuk Kerugian Negara
“Jika semua ditotalkan, maka pendapatan PT Timah Tbk dari penjualan logam timah sebanyak 283.257 ton dari tahun 2015-2022 hanya sebesar Rp82,7 Triliun. Angka ini jauh dari kerusakan lingkungan dari perhitungan ahli sebesar Rp271 Triliun,” jelas Elly, Rabu, 20 Nopember 2024.
“Masyarakat sudah tahu harga LME jadi tidak ada masyarakat bisa dibohongi oleh sekelompok orang. Masyarakat ikut mengendalikan harga. Dan mereka hidup makmur serta rukun”, tambah Elly.
Sementara untuk menghitung biaya reklamasi hitungannya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah, yakni jaminan reklamasi sebesar Rp90 juta/ hektar, land rent sebesar US$4/hektar/tahun, royalty sebesar 3% dari nilai penjualan ekspor. Sedangkan untuk CSR sebesar 2% dari keuntungan, meskipun tidak mengikat.
Menurut Elly, hitungan yang dibuat Prof Hero Saharjo sumir karena tidak jelas metodenya, mencampurkan angka kerugian dan biaya reklamasi dan ketidaksesuaian objek tambang atau IUP yang dihitung.
Meski hitungan kerugian negara masih kabur, namun Elly menilai kondisi ekonomi provinsi Bangka Belitung sudah hancur lebur pasca pengusutan kasus timah sudah terbukti.
BACA JUGA:Transaksi Rp 80 Miliar, Kuasa Hukum PT SBS: Tak Terkait Korupsi Timah
“Timah adalah panglima ekonomi Babel. Dengan angka pertumbuhan 6,85% dari tahun 2001 hingga 2022, Babel adalah propinsi dengan pertumbuhan tertinggi di Sumatera. Kini pertumbuhan dibawah 1 %, propinsi termiskin di Indonesia,” jelas Elly.