Baca Koran babelpos Online - Babelpos

Maken Ulok

Ahmadi Sopyan-screnshot-

DARI 4 fase (Maken Ulok, Taipau, Ngerapik dan Dak Kawa Nyusah) ini, ternyata akibat “agik mantak” (masih mentah)-nya pengalaman, pengetahuan dan mental spiritual seseorang.  Jika 3 hal ini (pengalaman, pengetahuan dan mental spiritual) “agik mantak” pada diri seseorang tapi ia tak menyadari, maka ia dalam pandangan orang lain akan disebut “mantak igak”. Pada akhirnya ia pun di trademark sebagai orang “mantak malai” dan “mantak tengah” pada tingkatan parahnya adalah “mati mantak”. Begitulah umumnya bahasa tutur kehidupan sosial ditengah-tengah masyarakat kita di Negeri  Serumpun Sebalai ini, terutama masyarakat kampong yang dikenal jujur dan apa adanya. 

Jika diibaratkan, kita ini seringkali berperilaku “kota nggak nyampe tapi desa sudah lewat”. Terjemahan singkatnya adalah “kepaleng tanggong”! Kerapkali kita berperilaku (bergaya) seakan modern tapi nyatanya konyol dengan meninggalkan budaya lokal yang seharusnya sebagai karakter diri kita sebagai orang daerah.

Dalam sesi tanya jawab ada seorang peserta bertanya: “Bang, bagaimana menjadi pemuda sejati itu?”. Walaupun sampai hari ini belum masuk kategori atau jenis pemuda sejati, tapi pertanyaan itu harus saya jawab: “Pemuda sejati adalah pemuda yang siap hidup dalam kondisi apapun dan dimana pun. Jika ia sukses tidak bertepuk dada dan kalau gagal tidak menggerutu apalagi mencari kesalahan pada orang lain atau bahkan “ngomelin” Tuhan”.

Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Innalfataa man yakuulu haa anadza walaisal fataa man yukuulu kaa naa abi”. Makna kurang lebih “Kalau ente mau jadi pemuda sejati nggak usah ndompleng nama besar orangtuamu atau keturunanmu, tapi karena dirimu sendiri”.

Oleh karenanya, selain kesadaran dari diri sendiri (yang utama), sistem dan menciptakan lingkungan yang sehat, juga peran pemerintah sangatlah penting untuk memberikan teladan. Karena saat ini tak sedikit pejabat kita baik di Eksekutif, Legislatif bahkan Yudikatif mengalami penyakit “taipau permanen”, hasil kerja “ngerapik” yang melahirkan birokrat-birokrat tidak kreatif akibat “dak kawa nyusah”. Ini semua diawali karena mungkin sejak kecil hingga dewasa penyakit “maken ulok”-nya justru semakin bertambah. Wajar saja kalau ternyata sekarang ini ngeterend yang namanya politik “pencitraan” yang dalam bahasa tutur masyarakat Bangka bisa disebut politik “maken ulok”.   

Jangan-jangan inilah sebabnya mengapa dulu para orangtua kita di kampung (Bangka) kerapkali menegur anak-anaknya sejak dini supaya jangan suka minta perhatian atau pujian dengan kalimat: “Jen Maken Ulok!” 

Salam Maken Ulok! (*)

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan