Ada Apa dengan Batu Beriga?

--

Oleh Randi Syafutra
Dosen Tetap Program Studi Konservasi Sumber Daya Alam
Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung


Desa Batu Beriga yang terletak di Kecamatan Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu permata tersembunyi di pesisir timur Pulau Bangka.

Desa yang dikelilingi oleh laut di utara, timur, dan selatan ini menyimpan potensi besar dalam sektor perikanan, pariwisata, dan budaya lokal. Namun, di balik keindahan alamnya dan kekayaan budayanya, Batu Beriga menghadapi ancaman besar yang dapat merusak masa depan penduduknya, yakni rencana penambangan timah di perairannya.

Batu Beriga memiliki potensi luar biasa untuk menjadi destinasi wisata, terutama karena posisinya di tepi pantai yang menakjubkan. Wisatawan dapat menikmati keindahan matahari terbit, serta budaya masyarakat nelayan yang kuat dan berakar.

Dengan keberagaman mata pencaharian, dari nelayan hingga pedagang, desa ini sebenarnya bisa berkembang pesat sebagai pusat ekonomi berbasis pariwisata. Namun, kenyataan tidak seindah harapan. Aksesibilitas yang terbatas dan kurangnya infrastruktur yang mendukung pariwisata, membuat potensi ini belum bisa dimaksimalkan.

Dalam hal budaya, tradisi Taber Laot merupakan kebanggaan masyarakat Batu Beriga. Ritual tahunan ini, di mana nelayan "mengunci" laut selama tiga hari untuk mengistirahatkan ekosistemnya, adalah salah satu contoh eco-spiritual yang masih hidup di Nusantara. Taber Laot tidak hanya menjadi bentuk syukur kepada Allah SWT atas hasil laut, tetapi juga sebagai bentuk kearifan lokal yang menjaga keseimbangan alam.

Dalam tiga hari tersebut, laut dan isinya diberikan waktu untuk pulih, sebuah bentuk konservasi alami yang sudah dipraktekkan jauh sebelum istilah "pembangunan berkelanjutan" populer di dunia modern. Tradisi ini menyatukan manusia, alam, dan spiritualitas dalam harmoni yang seimbang.

Namun, ancaman terbesar bagi keberlanjutan ekosistem laut di Batu Beriga datang dari rencana penambangan timah di perairan mereka. PT Timah Tbk (TINS), BUMN yang bergerak di bidang pertambangan timah, kini menghadapi perlawanan besar-besaran dari masyarakat Batu Beriga. Bagi masyarakat Batu Beriga, laut bukan hanya sumber kehidupan, tetapi juga bagian dari identitas mereka.

Aktivitas tambang di perairan tersebut dikhawatirkan akan menghancurkan ekosistem laut yang selama ini menjadi sandaran utama mereka sebagai nelayan. Kerusakan ekosistem ini akan membawa dampak buruk yang tak terhitung bagi perekonomian dan kelangsungan hidup masyarakat setempat.

Tidak hanya itu, penolakan masyarakat juga diperkuat dengan pandangan bahwa proses perizinan tambang dilakukan tanpa keterlibatan masyarakat Batu Beriga, yang seharusnya memiliki hak untuk menjaga wilayah mereka. Dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, jelas diatur bahwa masyarakat tradisional memiliki hak atas wilayah pesisir dan laut mereka.

Namun, suara masyarakat ini terpinggirkan oleh kepentingan korporasi besar. Masyarakat Batu Beriga merasa dilanggar hak-haknya, dan protes mereka tidak hanya menyuarakan penolakan terhadap tambang, tetapi juga menuntut keadilan atas hak mereka sebagai penjaga tradisi dan alam.

Apa yang menarik dari perlawanan masyarakat Batu Beriga adalah bagaimana mereka tetap berpegang pada nilai-nilai tradisional dan spiritual dalam menjaga laut mereka. Taber Laot tidak hanya menjadi simbol budaya, tetapi juga manifestasi nyata dari upaya konservasi berbasis masyarakat. Laut bagi mereka bukan sekadar sumber ekonomi, melainkan tempat suci yang harus dijaga dari kerusakan.

Di sisi lain, PT Timah Tbk berpendapat bahwa eksploitasi sumber daya alam seperti timah adalah bagian dari kewajiban mereka sebagai BUMN untuk memaksimalkan potensi ekonomi negara. Mereka berdalih telah memiliki legalitas yang sah dan proses penambangan akan dilakukan sesuai regulasi yang berlaku. Namun, apakah ini cukup untuk menjustifikasi dampak yang akan ditimbulkan terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat lokal? Apakah pertumbuhan ekonomi dari tambang timah sebanding dengan kehancuran ekosistem laut yang tak tergantikan?

Pengalaman dari daerah-daerah lain yang telah lebih dulu mengalami penambangan laut menunjukkan bahwa reklamasi pasca-tambang jarang berhasil mengembalikan kondisi alam seperti semula. Di Pulau Bangka sendiri, banyak wilayah yang pernah ditambang PT Timah kini hancur dan tak dapat dikembalikan ke kondisi ekologis yang produktif. Laut Batu Beriga, yang masih murni dan kaya sumber daya, terancam mengalami nasib serupa jika aktivitas tambang dimulai.

Masyarakat Batu Beriga dengan tegas menolak tambang. Bagi mereka, mempertahankan laut berarti mempertahankan kehidupan. Generasi muda yang dibesarkan di desa ini tahu betul bahwa tanpa laut yang sehat, masa depan mereka suram. Protes yang hampir berujung anarkis ketika PT Timah mencoba mensosialisasikan rencana penambangan beberapa waktu lalu adalah bukti betapa seriusnya masyarakat menolak tambang tersebut. Mereka bahkan berani menghadapi ancaman besar demi menjaga warisan yang telah diberikan oleh nenek moyang mereka.

Batu Beriga bukan sekadar tempat tinggal, tetapi simbol perlawanan rakyat kecil melawan korporasi besar yang berusaha mengeruk kekayaan alam tanpa memikirkan dampak jangka panjang. Di tengah gempuran kepentingan ekonomi global, Batu Beriga tetap teguh pada prinsipnya: menjaga laut adalah menjaga kehidupan. Pemerintah dan perusahaan tambang harus mendengar suara ini, suara rakyat yang ingin melindungi bukan hanya desanya, tetapi masa depan generasi yang akan datang.

Pada akhirnya, pertanyaan yang harus kita renungkan bersama adalah: apa yang lebih penting, keuntungan sesaat dari tambang timah atau kelangsungan hidup ekosistem laut dan masyarakat yang bergantung padanya? Mungkin inilah saatnya untuk benar-benar menilai apakah pembangunan harus selalu berarti eksploitasi, ataukah ada cara yang lebih berkelanjutan untuk memanfaatkan kekayaan alam kita tanpa merusak keseimbangan yang rapuh ini.

Batu Beriga, dengan tradisi Taber Laot-nya, mengingatkan kita bahwa kadang jawaban terbaik terhadap tantangan modern adalah kembali ke kearifan lokal yang telah lama terbukti menjaga harmoni antara manusia dan alam. Jangan biarkan tambang menghancurkan yang telah dijaga ratusan tahun oleh masyarakat yang mencintai laut mereka.**

Tag
Share