Tukang Ngulon
Ahmadi Sopyan-screnshot-
Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku/Pemerhati Sosial
MANUSIA itu diciptakan dari TANAH. Jika ada manusia yang suka berantem dan suka bermasalah dengan manusia lainnya, jangan-jangan dulunya ia diciptakan dari TANAH SENGKETA.
----------
KALIMAT diatas sempat saya ungkapkan spontanitas ketika didaulat menjadi Moderator dadakan dalam diskusi santai beberapa tahun silam, tepatnya Sabtu/27/2002 dengan beberapa tokoh Bangka Belitung di Balai Adat Negeri Serumpun Sebalai dengan tuan rumah Datuk Sri Emron Pangkapi dan Yusroni Yazid. Tokoh masyarakat yang hadir adalah banyak dari kalangan tokoh masyarakat Bangka Belitung yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya setelah pagi hingga sore hari melakukan kegiatan Eksepedisi Sungai Baturusa dan Ziarah ke Makam Depati Barin.
Kalimat berbau humor tersebut sengaja saya lontarkan guna menyindir perilaku banyak tokoh hebat di negeri ini yang justru “hebat banget” memperbesar pertengkaran, memperkeruh suasana, menampakkan perbedaan dan memperuncing persoalan kecil menjadi besar yang sering saya sebut “me-Mak Erot-kan” persoalan.
Akibat perilaku kita (saya, Anda dan kita semua) seperti itu, maka pembangunan baik SDM maupun pembangunan fisik (infrastruktur) menjadi sering terhambat. Sehingga yang nampak di depan lobang hidung kita adalah perilaku Eksekutif bertengkar dengan Legislatif, Yudikatif mencari kesalahan Eksekutif dan merasa hebat serta sukses jika bisa memenjarakan pejabat dari Eksekutif dan Legislatif. Namun yang lebih parah lagi adalah kita kerapkali membedakan antara “urang BANGKA” dengan “urang BELITUNG”. Inilah kebodohan besar yang menurut saya tidak boleh menular hingga menjalar pada otak dan hati generasi muda. Karena sinergitas untuk membangun negeri jauh lebih penting ketimbang ego sektoral yang tak kunjung usai.
Serumpun Sebalai-kah Kita?
SEMENJAK Bangka Belitung menjadi Provinsi, ketika berada diluar Bangka Belitung, saya selalu menyebutkan diri saya adalah “orang Bangka Belitung”. Tidak lagi menyebut diri sebagai “orang Bangka”. Ini adalahlah simbol berbentuk kata dari konsistensi kita terhadap sejarah dan komitmen bersama ketika pembentukan Provinsi tercinta ini.
Dari kesadaran itu seharusnya tidak ada lagi kalimat “saya orang Bangka” “mikak orang Belitung”, tapi yang ada adalah “kita orang Bangka Belitung”. Kita adalah satu keluarga besar (serumpun) dalam sebuah rumah (sebalai) yang bernama BANGKA BELITUNG bukan Bangka DAN Belitung. Namun nyatanya kita masih sangat kekanak-kanakan, memperbesar ego sektoral dengan masih membedakan antara “urang Bangka” dan “urang Belitung”.
Orang Bangka merasa hina, merasa tidak adil dipimpin orang Belitung karena merasa wilayahnya lebih besar, sedangkan orang Belitung selalu curiga dengan orang Bangka sehingga bersatu padu bahwa harus orang Belitung yang memimpin dan pembangunan Kabupaten-nya harus dispesialkan dari Kabupaten/Kota lain-nya. Kurang minat dan kurang semangat jika bersama orang Bangka.
Dari kenyataan yang ada, akhirnya timbul pertanyaan kecil kami generasi muda yang “minim jasa”, “minim pengalaman” dan “minim ilmu” mengenai makna “Serumpun Sebalai” yang jauh berbeda antara slogan dengan kenyataan. Perbedaan kita antara “urang Bangka” dan “urang Belitung” masih menjadi persoalan mendasar setiap pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Meminjam istilah Bang Haji Rhoma Irama, T E R L A L U .......
Fan Ngin Thong Ngin Jit Jong
ALUNAN musik begitu indah didengar karena perbedaan alat musik sekaligus suara (bunyi) setiap alat pun berbeda ketika dimainkan. Begitupula hendaknya kita memahami berbagai perbedaan yang ada di negeri yang menobatkan diri sebagai Serumpun Sebalai. Perbedaan suku, agama, warna kulit, tempat lahir adalah lumrah karena kita semua terima beres ketika dilahirkan di dunia ini tanpa pernah memesan terlebih dahulu dilahirkan dimana, suku apa, warna kulit bagaimana dan sebagainya. Bahkan banyak diantara kita memilih agama karena “warisan” (agama menurut orangtua/leluhur).