Urang Budu Beng Kadep
Ahmadi Sopyan-screnshot-
Tapi era demokrasi yang semakin mengkhawatirkan umat (terutama muslim) ini semakin banyak orang yang kepengen menjadi pemimpin, padahal menjadi rakyat saja ia masih belum lulus. Banyak orang yang merasa pantas menjadi atasan, padahal menjadi bawahan saja ia suka menjilat atasan dan menginjak kawan. Banyak orang yang merasa pantas menjadi Kepala Dinas, tapi menjadi staff saja ia memuakkan. Banyak orang yang merasa pantas menjadi Kepala Daerah, padahal menjadi Kepala Rumah Tangga saja ia kacau balau. Banyak orang yang merasa pantas menjadi penceramah, padahal ayat saja baru hafal satu potong. Banyak orang yang merasa pantas menjadi imam, tapi menjadi makmum saja sholatnya sering batal. Inilah yang kerapkali saya sebut bahwa buah dari demokrasi melahirkan manusia-manusia yang “dak ngukor baju di badan” (tidak memahami kemampuan diri). Hanya pandai berbicara kursi tapi tidak pandai menorehkan prestasi karena yang tertanam dalam pribadinya sifat “hanya karena merasa”.
Pernah saya ungkapkan melalui tulisan beberapa tahun silam, bahwa perilaku “hanya karena merasa” dan “salah merasa” inilah yang akhirnya menciptakan manusia-manusia kaget, entah itu kaget sosisl, kaget struktural maupun kaget spiritual. Kita kerapkali merasa besar, ternyata kenyataannya kita tak sebesar yang kita rasa, sehingga ketika ada orang yang tidak menganggap diri kita besar kita kecewa dan murka. Kita sering merasa pintar, tapi kenyataannya banyak hal yang tak kita ketahui dalam hidup ini, bahkan persoalan dan kenyataan yang ada didepan lobang hidung sendiri seringkali tak kita ketahui, dan ketika ada orang yang mengetahuinya dan memberitahu, kita malah murka.
Kita sering merasa diri kita adalah seonggok mutiara, tapi pada kenyataannya kita tak lebih dari serbuk-serbuk ringan dan debu yang tak berarti apa-apa. Kita sering merasa terhormat, sehingga selalu berusaha berdiri dan duduk di kursi terdepan, padahal kita bukanlah siapa-siapa. Kita sering merasa gagah, tapi kenyataannya ketika terbaring sakit dan selang infus melekat ditangan, kita tak mampu berbuat apa-apa. Kita sering merasa pantas dan mampu, tapi pada kenyataannya kita termasuk golongan yang cuma merasa bisa tanpa ada kemampuan dan keahlian dibidangnya, kecuali “hanya karena merasa”, padahal “salah rasa”.
Memang, dalam pandangan saya pribadi, tidak ada orang pintar maupun orang bodoh, yang ada hanyalah orang yang tahu dengan persoalan dan orang yang kurang paham dengan persoalan tersebut. Misalnya, saya mungkin paham sebuah persoalan, memahami ilmu politik, tapi belum tentu dan pastinya tidak tahu (buta dan tidak menguasai) persoalan yang lain seperti ekonomi, sejarah, pertanian, pendidikan, sosial, agama dan lain sebagainya. Karena pada kenyataannya tidak ada manusia yang menguasai segala lini kehidupan.
Menyambung fenomena yang diutarakan kawan dari kampung tadi, dihadapan mahasiswa muda kader NU (Nahdlatul Ulama) yang tergabung dalam PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) di Kota Malang, saya sok bijak bak Mario Teguh mengatakan bahwa tidak ada seorang pun di dunia ia menjadi besar karena dirinya sendiri. Seseorang akan menjadi besar, terhormat karena dukungan dan peran banyak orang. Juga tidak ada orang besar karena menjatuhkan orang lain. Kebenaran mungkin bisa terdesak, tapi tak pernah musnah. Untuk itu seluruh hidup harus diabadikan untuk kebenaran sekecil apapun. Karena saat ini wajah umat Islam sudah dalam kategori sangat mengkhawatirkan, kita mayoritas tapi gampang dipecah belah. Kita mayoritas tapi kalah suara dan kalah aksi dengan minoritas. Semoga ini bukan sekedar “karena merasa” dan bukan pula karena “salah rasa”.
Memang, sudah masanya sekarang ini Cicak menyebut dirinya Tokek, Biawak merasa Buaya, Kucing mengaku Harimau, Cacing menyebut dirinya Naga, bahkan yang paling menggelikan adalah Kerbau hendak terbang seperti Elang. Sehingga semua merasa diri pantas tampil “beng kadep” (terdepan). Jangan-jangan termasuk saya juga, karena masih bodoh dan bukan siapa-siapa tapi sering juga disuruh “beng kadep”!!(*)
Salam Beng Kadep!(*)