Urang Bangka & Karakternya

Ahmadi Sopyan--

Oleh: AHMADI SOFYAN

Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya

 

MENJADI urang Bangka itu anugerah, sebab sejarah, lingkungan dan alam menciptakan karakter kita adalah karakter BOSS, tapi jika tidak pandai membaca & mengolah diri, siap-siap berubah jadi JONGOS.

------------

AYAT Qur’an yang pertama kali turun berbunyi Iqra’ (Bacalah). Sepertinya bukan tanpa alasan mengapa Iqra’ yang turun pertama kali. Menurut saya pribadi yang minim pengetahuan agama ini, kesuksesan seseorang di dunia maupun di akhirat, yakni harus dimulai dari kemampuan membaca diri, membaca lingkungan dan yang terakhir membaca kitab. Jika salah baca diri, salah baca lingkungan dan terlebih salah baca kitab atau salah guru, maka bersiap sebaliknya. 

Sebab demikian, ketika awal kuliah, saya berusaha membaca diri, saya ini siapa, terlahir dari orangtua bagaimana, nasab siapa, karakternya bagaimana, baik dan buruknya karakter saya apa dan sebagainya. Kejujuran paling jujur adalah jujur menilai keburukan dan kelemahan diri. Ini saya lakukan persis di depan cermin awal kuliah di Kota Malang. Selanjutnya dimana pun saya tinggal, saya berusaha membaca karakter lingkungan dan pastinya ribuan buku sudah saya baca sampai saya memiliki perpustakaan pribadi demi mengurangi kebodohan akut. 

Boss ataukah Jongos?

SELESAI kuliah saya nganggur, sampai sekarang lho sejak puluhan tahun silam. Sebab saya tidak pernah mau melamar pekerjaan. Satu-satunya lamaran yang pernah saya ajukan adalah melamar anak calon mertua yang kini sang anak mertua itu sudah melahirkan 3 orang anak. pilihan hidup saya untuk tidak bekerja sama orang apalagi di perusahaan atau menjadi pegawai negeri karena saya sudah membaca karakter diri saya yang “sangat Bangka”. Mengapa saya katakan sangat Bangka? 

Karakter orang Bangka adalah karakter yang sangat egaliter, berdaulat dan menganggap semua orang adalah sama, tidak ada status sosial, strata kehidupan apalagi kasta dan marga seperti daerah lainnya. Oleh karenanya sikap “kurang unggah ungguh”, toto kromo, suara keras, tegas, cukup melekat pada karakter kita. Yang paling terlihat adalah kurang pandai dalam melayani.

Seringkali, bahkan mungkin sudah puluhan investor maupun manager perusahaan, baik skala besar maupun kecil sekelas kuliner mengeluh didepan saya tentang pelayanan para karyawan asli urang Bangka. 

Misalnya beberapa hari lalu, salah satu manager sebuah kuliner yang sangat besar curhat tentang betapa seringnya ia mendapat komplain dari konsumen akibat pelayanan para pelayannya yang kurang baik, entah itu tata krama, ucapan, maupun cari menyajikan, bahkan terutama raut wajah yang cenderung susah senyum. Kepada saya sang manager menceritakan bahwa beberapa orang putra daerah sudah dipecat hingga ia harus dipanggil Disnaker dan ia pun menjelaskan dengan jujur. 

Pun beberapa kali saya saksikan sendiri, bagaimana investor mengeluhkan betapa mereka sangat ingin untuk berinvestasi di Bangka dan mempekerjakan putra/putri daerah. Awal-awalnya memang putra/putri daerah, namun seiring perjalanan waktu, saya saksikan sendiri dengan sangat terpaksa ia gantikan dengan orang luar Pulau Bangka demi keberlanjutan pelayanan yang lebih baik di perusahaannya. 

Kepada kawan-kawan itu, saya katakan bahwa memang begitulah karakter kita orang Bangka yang dalam sejarahnya tidak memiliki kerajaan sehingga cenderung egaliter. Selain itu, penjajahan Belanda dan Jepang di Pulau Bangka dan Belitung tidak sesignifikan seperti di Pulau Jawa dan daerah lain di Sumatera seperti Padang, Aceh dan lain sebagainya. Sebab memang kala itu kita jumlah penduduknya masih sangat sedikit dan wilayah kepulauan yang susah dijangkau. Selanjutnya, ketika Timah dikuasai Belanda, orang-orang Bangka bukanlah pelayan atau pekerja tambang timah. Justru Belanda mengambil karyawan atau penambang dari Tiongkok. Hal ini menunjukkan betapa orang-orang Bangka sangat berdaulat (merdeka) sejak zaman penjajahan sehingga karakter pelayan atau pegawai itu kurang mengena bagi orang Bangka. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan