Krisis Konstitusi: Matinya sebuah Demokrasi
Izcha Pricispa-Dokumen pribadi/arsip Babel Pos-
Putusan Mahkamah Agung tersebut digadang-gadang akan memberikan kesempatan generasi muda untuk show off dalam dunia politik. Akan tetapi, bukannya show off bagi anak muda namun putusan tersebut lebih kepada memperlihatkan politik dinasti.
Tidak hanya itu, mengutip dari BBC News, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membatalkan pengesahan RUU Pilkada. Artinya, perubahan yang diajukan oleh MK yang mana merupakan angin segar bagi rakyat tidak berlaku untuk pemilu kali ini.
Padahal pada pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwasannya “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang pemilihan umum”.
Arrtinya putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Lagi pula sebuah keputusan yang demokratis atau pro rakyat itu sudah seyogyanya di dukung oleh wakil rakyat.
BACA JUGA:Guru Berkarakter Sekolah Berbudaya
Hemat penulis, putusan MA dan anulir putusan MK justru membuka pintu yang sangat lebar hanya kepada segelintir orang saja dan bukan diperuntukkan kepada seluruh generasi muda Indonesia.
Apabila aturan terkait dengan praktik bernegara yang hanya didasari oleh kesukaan seseorang tanpa berlandaskan pada khalayak umum maka akan memicu polemik di tengah masyarakat.
Lagi pula tidak etis rasanya jika peraturan itu diubah sedemikian rupa hanya untuk diperuntukkan bagi kepentingan segelintir orang saja.
Kejanggalan selanjutnya adalah putusan tersebut baru muncul ketika mendekati Pilkada. Kemudian, Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 itu hanya berubah pada poin antara penetapan dan pelantikannya saja.