Ngiret Kaleng
Ahmadi Sopyan-screnshoot-
Oleh: Ahmadi Sopyan
Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
HARI pemilihan sudah usai, rakyat sudah menentukan pilihannya.
Semoga tidak kita temukan di Bangka Belitung ini para Caleg gagal yang
berperilaku ngiret kaleng, ngiret drum, ngiret galon, atau ngiret tedmon.
---------------
“DINDO……, setelah Pemilu besok, ka kek abang harus pergi ke RSJ di Sungailiat! Kite menjenguk para caleg-caleg ngiret kaleng. Kite bedue ne harus bertanggungjawab terhadap caleg-caleg gagal yang ngiret kaleng!” melalui handphone, suara serak-serak becek yang disertai tawa ngakak dari tokoh besar “perkeliruan” Bangka Belitung, Agus Adaw membuat saya tak kuasa juga membalas tawanya di tengah malam buta sebelum hari pencoblosan.
“Siap kando, mun partai dak de yang nek bertanggungjawab, kite yang bertanggungjawab. Mun RSJ dak mampu menampungnya, kita minta dana kepada Pemerintah untuk membuat perkampungan sendirik untuk mereka, name e kampong ngiret kaleng. Kando yang jadi Kades atau Lurah e” jawab saya santai yang juga disambut tawa ngakak Agus Adaw si “Manusia Setengah Waras” ini.
***
“NGIRET KALENG” entah sejak kapan kalimat ini diungkap dan dipopulerkan di Negeri Serumpun Sebalai (Bangka Belitung). Tapi semenjak saya pulang ke Bangka pertengahan tahun 2008 silam, kalimat ini sudah sangat populer saya dengar dari mulut ke mulut, terutama di obrolan warung-warung kopi di Pangkalpinang bahkan di kampung-kampung.
Secara harfiah, “ngiret kaleng” memiliki arti “menyeret atau menarik kaleng”. Tetapi makna yang dimaksud dengan kalimat tersebut sebetulnya adalah gila, stress atau frustasi yang berlebihan. Lebih luasnya “ngiret kaleng” bermakna perilaku seseorang yang stres atau gila dengan mengikat kaleng menggunakan kakinya lalu diseret atau berperilaku seperti anak kecil bermain atau menyeret/menarik mobil-mobilan.
Perilaku “ngiret kaleng” ini adalah perilaku yang diakibatkan oleh harapan besar terhadap sesuatu dengan perilaku yang berlebihan dan rasa percaya diri yang terlalu tinggi, namun akhirnya gatot (gagal total) tidak seperti yang dibayangkan. Yang dibayangkan hanyalah kesuksesan semata serta mengabaikan kemungkinan-kemungkinan lain yang sebaliknya. Sikap ini tidak diiringi dengan mental spiritual yang memadai karena merasa kesuksesan itu dapat diraih dengan segala kemampuannya sendiri.
Misalnya dalam pencalonan untuk mendapatkan jabatan atau posisi. Perilaku berlebihan dilakukan seperti menghambur-hamburkan bantuan, pemberian, bahkan pembelian suara yang tentunya menghabiskan dana yang tidak sedikit sehingga harus menjual atau menggadaikan aset bahkan meminjam kepada keluarga atau teman dengan harapan setelah posisi didapatkan uang gampang untuk dikembalikan, entah itu dengan cara bermain proyek maupun dengan cara-cara lainnya diluar tugas dan wewenang jabatan yang ia duduki serta gaji yang didapatkan.