Tutur, Tatar dan Teter
Ahmadi Sopyan--
Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
ISTILAH "Tutur", "Tatar" dan "Teter" dalam kehidupan sosial orangtua kita tempo doeloe mengingatkan kita bahwa banyak dinamika sosial yang terjadi dan diselesaikan dengan cara bertahap.
====
JAUH sebelum lahir istilah professional dalam dunia kerja dengan SP (Surat Peringatan), seperti SP 1 atau Peringan Lisan, lalu SP 2 atau peringatan tertulis dan yang terakhir adalah SP 3 alias Pemecatan, para orangtua kita tempo doeloe sudah melakukan itu dengan istilah "Tutur" (dinasehatin lisan dengan halus), lalu "Tatar" (diperingatkan lisan dengan tegas alias ditatar) dan yang terakhir adalah "Teter" (diselsaikan dengan keras, seperti tamparan, tempeleng, pukul alias "tekop"). Dalam dunia kerja, "Teter" ini masuk pada pemecatan.
Walau bukan dalam dunia kerja, istilah "Tutur", "Tatar" dan "Teter" dalam kehidupan sosial orangtua kita tempo doeloe mengingatkan kita bahwa banyak dinamika sosial yang terjadi dan diselesaikan dengan cara bertahap. Bahkan demikian dalam lingkungan keluarga, orangtua terhadap anak.
Terlebih kita wilayah Sumatera, terutama Bangka Belitung yang pastinya sangat berbeda dengan masyarakat Pulau Jawa yang sangat kental dengan unggah ungguh, toto kromo dan adab serta adat istiadat. Di Pulau Jawa dan dibeberapa daerah lainnya di Indonesia, tingkatan golongan atau kasta sosial ditengah masyarakat masih sangat kental dan nampak. Tapi di Bangka Belitung soal kasta atau status sosial disini adalah sama. Oleh karenanya, kadangkala adab dan kesopanan sosial masih jauh dibawah orang Jawa.
Maklumlah, bagi masyarakat Bangka Belitung semua orang adalah sama. Banyak terdengar omongan: “Selame agik same-same makan nasik, arti e agik same” (Selama masih sama-sama makan nasi, berarti masih sama kastanya). Begitupula kalimat “Kami dak mintak maken kek ikak!” (Kami tidak meminta makan kepada kalian), atau juga kalimat “Nyo nek kato nyo lah” (Dia mau kata dia lah), atau juga karakter “Dak Kawa Nyusah” atau “ngumong kek Sabak” atau juga “Nek yo, nggak sudah” (Kalau mau ayo, kalau nggak mau ya sudahlah!) adalah sebagian kalimat yang menunjukkan karakter masyarakat Bangka Belitung itu sangat berdaulat pada dirinya sendiri. Bahkan rasa percaya dirinya sangat besar. Kadangkala kemauan dan omongan tidak sesuai dengan kemampuan dan keadaan diri. Makanya muda banget diukur, misalnya yang garang di media sosial, percayalah akan mengkerut nyala di alam nyata.
Makanya, populer kalimat lucu tapi benar adanya, yakni “Kalau urang Banten dak mempan dibacok, urang Bangka dak mempan dipadah” (Orang Banten tidak mempan dibacok, orang Bangka dak mempan dinasehatin). Seringkali nasehat diberikan nyaris tak berbekas dalam perilaku dan adab.
Di Negeri yang kerapkali kita sebuay Melayu ini, apapun profesinya, gelarnya, pangkatnya, jabatannya, kekayaannya, nasab-nya, selama masih berbentuk manusia, makan nasi, minum air dan masih ngantuk dan tidur, artinya sama derajatnya. Jangan heran disini, kalau perilaku pejabat yang berlagak ingin dihormati dan bersikap “priyayi”, tidak akan diterima dan bahkan menjadi bahan olokan dan tertawaan. Disini sudah biasa kalau tiba-tiba Gubernur datang disapa sebagaimana menyapa kawan. Diajak ngobrol sebagaimana ngobrol dengan teman di kampung, ditepuk pundaknya sebagaimana teman masa kecil. Dikritik didepan umum sebab merasa semua adalah sama. Disini tidak ada tingkatan kasta bahwa harus membungkuk, merunduk apalagi menyembah. Walaupun demikian, masih ada sebagian yang berperilaku “oke Boss” didepan sambil megang “burung dan lato-lato”, tapi dibelakang malah mengolok alias mentertawakan. Lagi-lagi, disini semua orang adalah sama, yakni sama-sama berdaulat pada dirinya sendiri. Sehingga adab dan sopan santun seringkali dikesampingkan.
So, bagaimana menjadi Pemimpin di Negeri Serumpun Sebalai? Mudah, dalam bergaul di dunia nyata, samakanlah diri alias sederajatkanlah diri dengan semua masyarakat. Sebab disini yang berbeda hanyalah sang pengambil kebijakan, tapi dalam pergaulan adalah sama. Tersenyum dan tertawalah bersama semua orang, “begagil”-lah kalau harus begagil, karena karakter Urang Bangka Belitung senang “begagil” atau “begagit” (bercanda), termasuk saya menulis seperti ini juga tak pernah serius. Disini, jika pandai membawa diri dalam pergaulan, akan dikenang sebagai kebaikan dan penuh persahabatan. Sebab masyarakat Bangka Belitung tak akan mengenang seseorang dengan jabatan, pangkat, profesi dan kekayaannya. Yang akan dikenang adalah kebaikan dan persahabatannya serta "begagilnya".
Di ranah negeri Melayu, pasti sudah dipahami bahwa orang Melayu itu marahnya dengan senyum, tuturnya dengan sindiran, ungkapannya dengan pantun, bencinya dengan diam. Makanya orangtua kita tempo doeloe menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan, pemerintahan bahkan dalam pendidikan, melakukan 3 tahapan, yakni“Tutur”, “Tatar” dan “Teter”. “Tutur” itu ucapan yang diungkapkan dengan santun, bekisah dan menggunakan adab dan adat. Sedangkan “Tatar” itu ucapan lisan yang bernada tegas, perintah, bahkan bernada keras khas atasan kepada bawahan. Sedangkan “Teter” adalah artinya libes (mencabuk/menyabet) maber (nempleng), pukulan alias bermain fisik. Tapi karena negeri ini adalah negeri hukum, maka yang dimaksud dengan “Teter” disini adalah melakukan penyelesaian melalui hukum.
Oya, di Bangka Belitung ini ada satu kekurangan lagi, yakni kurang sinergi dalam membangun negeri sebab mudah sekali diadu domba dan rebutan ingin tampil dimuka. Rasa iri dengki kalau ada yang lebih dari dirinya juga sangat kental.
Salam Negeri!(*)