Mimpi Hijau Anak Negeri Timah
Hafizha Syifa Al Fajri-Dok Pribadi-
Oleh Hafizha Syifa Al Fajri
Siswa SMA Muhammadiyah Pangkalpinang
Bangka Belitung sering disebut sebagai “negeri timah”, sebuah julukan yang seharusnya identik dengan kemakmuran. Namun kenyataannya, di balik kekayaan alam itu, banyak masyarakat justru hidup dalam keterbatasan.
Lubang-lubang tambang kini menjadi pemandangan biasa di sekitar desa, sementara sungai dan laut yang dulu menjadi sumber kehidupan perlahan kehilangan maknanya. Kekayaan yang seharusnya membawa kesejahteraan justru melahirkan ketimpangan sosial dan luka ekologis.
Sebagai generasi muda yang lahir dan besar di tanah ini, saya sering bertanya: mengapa kekayaan alam tidak selalu berarti kesejahteraan bagi rakyatnya? Pertanyaan sederhana itu membawa kita pada kenyataan bahwa pembangunan di daerah ini masih berpihak pada kepentingan ekonomi jangka pendek. Politik dan ekonomi berjalan beriring, tetapi sering kali melupakan masyarakat kecil yang paling terdampak oleh keputusan-keputusan besar.
Masyarakat pesisir kehilangan hasil tangkapan karena laut tercemar lumpur tambang. Petani kehilangan lahan karena tanah berubah menjadi kawasan eksploitasi. Sementara itu, keuntungan besar dari tambang justru mengalir ke kelompok tertentu yang memiliki akses terhadap izin dan kekuasaan. Di sinilah letak persoalan politik ekonomi Bangka Belitung: distribusi manfaat yang tidak adil dan lemahnya keberpihakan terhadap rakyat.
Kondisi ini menimbulkan berbagai konflik sosial, baik antara warga dengan perusahaan, antarwarga yang berebut lahan tambang, maupun antara masyarakat dan aparat penegak hukum. Dalam banyak kasus, konflik tersebut bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal harga diri dan rasa keadilan. Rakyat merasa kehilangan ruang hidup, sekaligus kehilangan suara dalam menentukan nasibnya sendiri.
Sudah saatnya pemerintah meninjau ulang arah pembangunan daerah. Bangka Belitung perlu beralih dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi berkelanjutan yang lebih adil dan manusiawi. Potensi perikanan, pertanian organik, hingga pariwisata berbasis alam dan budaya lokal dapat dikembangkan sebagai sumber ekonomi alternatif. Namun, semua itu membutuhkan komitmen politik dan keberanian moral dari para pemimpin untuk tidak lagi menutup mata terhadap kerusakan dan ketimpangan yang terjadi.