Leiden is Lijden
Ahmadi Sopyan-screnshot-
Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
“Memimpin adalah menderita (leiden is lijden) bukan menumpuk harta”
-K.H. Agus Salim-
-----------------
SALAH satu buku kesenangan saya untuk dibaca sejak dulu adalah biografi para tokoh, beberapa waktu lalu, secara bersamaan saya membaca biografi tokoh seperti: Soekarno, Agus Salim, M. Natsir, Hoegeng, AR. Fachruddin, AR. Baswedan, AR. Fachruddin, Mohammad Hatta, Soeharto, Habibie, Gus Dur, SBY, JK, Jokowi dan termasuk para beberapa pemimpin daerah.
Di tengah asyik membaca, saya teringat bahwa saya punya “hutang” ke Babel Pos dan handphone sudah berdering, siapa lagi kalau bukan Syahril Sahidir yang menanyakan TARING (Catatan Ringan) yang akan dimuat untuk hari ini. Jadilah, Leiden is Lijden (memimpin adalah menderita) menjadi pembahasan saya kali ini. semoga menjadi salah satu inspirasi bagi pembaca.
“Lieden is lijden”, ungkapan Guru Bangsa, Agus Salim ini bukan sekedar ucapan lisan dan tulisan, tapi adalah perilaku kehidupan yang ia jalani hingga akhir hayat. Ulama berbadan kurus ceking namun dikenal sangat tegas ini memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Presiden Soekarno.
Pejuang kemerdekaan sekaligus pendiri RI (Republik Indonesia) berciri khas jenggot panjang memutih dan tongkat di tangan guna menopang tubuh ringkihnya ini dikenal sangat diplomatis dan menguasai beberapa bahasa dunia dari belajar otodidak, seperti Bahasa Arab, Tiongkok, Jepang, Jerman, Prancis, Turki, Inggris, Rusia dan Belanda. Ia pun beberapa kali ditangkap dan diasingkan oleh penjajah Belanda bersama Soekarno, termasuk di Mentok Bangka Barat.
Agus Salim kesederhanaan dan kesahajaan hidup yang ia jalani tak pernah lekang diungkapkan sejarah walau kian dilupakan oleh perkembangan zaman. Di dalam gang sempit, berkelok dari jalan utama dan menyelusup gang-gang padat rumah di Jatinegara, terdapat sebuah rumah mungil dengan satu ruang besar. Begitu pintu dibuka, akan ada koper-koper berkumpul di sudut rumah dan kasur-kasur digulung disudut lainnya. Disanalah tempat tidur Agus Salim dan keluarganya. Tahukah Anda apa jabatannya kala itu? Menteri Luar Negeri Republik Indonesia (Menlu RI).
Anis Baswedan, pernah mengungkapkan dalam tulisannya “Agus Salim, Kesederhanaan, Keteladanan yang Menggerakkan” menyebutkan bahwa Agus Salim hidup sebagai Menteri dengan pola nomaden atau berpindah dari kontrakan satu ke kontrakan lain, dari satu gang ke gang lain. Begitulah sosok Guru Bangsa kita yang hidupnya jauh dari kemewahan, ternyata tidak membuat kiprahnya sebagai ulama dan negarawan terhenti. Ia juga sangat tidak memanfaatkan berbagai jabatan penting yang disandang dan kedekatannya dengan Presiden untuk meningkatkan taraf hidup keluarganya.
Bentuk kesederhanaan lain Agus Salim adalah ia rela berjualan minyak tanah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Tanpa rasa malu bahwa dirinya adalah tokoh besar ternama, mantan Menteri Luar Negeri, mantan Perwakilan tetap Indonesia di PBB, Agus Salim menjual minyak tanah dengan cara mengecer. Bahkan saat ada acara di Yogyakarta, Agus Salim membawa minyak tanah dan menjualnya di sana. Hasil penjualannya ia pergunakan untuk menutupi ongkos perjalanannya Jakarta-Yogyakarta.
Diluar kesederhanaan dan kecerdasannya, Agus Salim juga dikenal sebagai sosok pemberani dan cerdik. Suatu ketika, dalam sebuah persidangan, Agus Salim menaiki podium guna menyampaikan pidato. Hadirin yang dipenuhi oleh para Diplomat Belanda mengolok-olok Agus Salim yang berperawakan kecil dan berjenggot. Mereka semua serentak menirukan suara kambing untuk menyindir jenggot Agus Salim. Saat memulai pidatonya, Agus Salim berkata: