Babel Ditinggal Pergi Pemudanya
Sohidin.-Dok Pribadi-
Oleh Sohidin
Statistisi BPS Kabupaten Bangka Selatan
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) adalah wilayah kepulauan yang kaya akan sumber daya alam, dari tambang timah, perkebunan lada, hingga potensi kelautan dan pariwisata. Namun di balik kekayaan itu, Babel menghadapi tantangan demografi serius: gelombang migrasi pemuda keluar daerah yang terus meningkat. Mereka tidak sekadar berpindah antar wilayah di dalam provinsi, tetapi benar-benar meninggalkan Babel demi akses pendidikan, pekerjaan, dan masa depan yang dianggap lebih menjanjikan di luar sana.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2023) menunjukkan bahwa sekitar 67 persen migran antar provinsi dari Babel berasal dari kelompok usia muda 15–34 tahun. Dalam lima tahun terakhir, lebih dari 52 ribu orang pindah ke luar provinsi, terutama menuju Palembang, Jakarta, Batam, dan Kalimantan, yang menawarkan lebih banyak pilihan pendidikan dan lapangan kerja.
Tren ini selaras dengan data nasional, di mana lebih dari 60 persen migran muda antar daerah berasal dari kawasan non-metropolitan, terutama provinsi kepulauan dan perbatasan (Bappenas, 2022). Yang mencemaskan, hanya sekitar 1 dari 10 migran muda di Babel yang kembali dalam lima tahun terakhir.
Itupun, sebagian besar kembali karena alasan keluarga atau kesehatan, bukan karena melihat peluang pembangunan di kampung halaman. Fenomena ini mencerminkan “brain drain” regional—kehilangan sumber daya manusia produktif yang cerdas dan terampil. Akibatnya, daerah asal mengalami stagnasi dalam inovasi, produktivitas, dan dinamika sosial. Babel berisiko menjadi provinsi “tua sebelum kaya”.
Lalu, apa penyebab utama arus migrasi pemuda dari Bangka Belitung? Pertama, keterbatasan pendidikan tinggi. Menurut Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti, 2024), hanya terdapat 12 perguruan tinggi aktif di Babel, dan hanya satu yang negeri: Universitas Bangka Belitung (UBB).
Total mahasiswa aktif di seluruh Babel pada 2023 hanya sekitar 12 ribu, sangat kecil jika dibandingkan dengan lebih dari 70 ribu mahasiswa di Sumatera Selatan. Jurusan pun terbatas, mayoritas masih bersifat umum dan belum menjawab kebutuhan industri lokal. Akibatnya, lulusan SMA/SMK hampir tak punya pilihan selain keluar provinsi, memicu migrasi awal yang jarang kembali.