BMKG: Kewaspadaan Ekstra!
Dwikorita Karnawati-screnshot-
BADAN Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menekankan bahwa penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tidak bisa sepenuhnya bergantung pada Operasi Modifikasi Cuaca (OMC).
------------
DALAM kondisi atmosfer tertentu, khususnya saat pertumbuhan awan hujan rendah, upaya penyemaian tidak bisa dilakukan sebab tidak ada awan potensial untuk disemai. Kondisi ini mengharuskan adanya kesiapsiagaan alternatif melalui peningkatan patroli darat, penjagaan ketat di titik-titik rawan, serta penguatan strategi pencegahan lainnya.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menyatakan bahwa curah hujan sangat berpengaruh terhadap tingkat kerentanan lahan terhadap kebakaran. Berdasarkan analisis data curah hujan dasarian dan indeks Fine Fuel Moisture Code (FFMC) terungkap bahwa semakin rendah curah hujan, semakin kering lapisan bahan bakar ringan di permukaan tanah. Kondisi ini secara signifikan meningkatkan risiko terjadinya kebakaran lahan.
"Oleh karena itu, pemantauan curah hujan tidak hanya penting untuk memperkirakan potensi hujan, tetapi juga menjadi indikator utama dalam menentukan fase-fase rawan kebakaran hutan dan lahan," ungkapnya di Jakarta, Senin, 28 Juli 2025.
Ia juga menambahkan, keberhasilan OMC bergantung pada faktor cuaca mikro dan makro. Khususnya pada pertumbuhan awan hujan yang ternyata sangat fluktuatif.
Dwikorita menjelaskan bahwa pertumbuhan awan dipengaruhi oleh berbagai faktor dinamika atmosfer, seperti aktivitas gelombang Kelvin dan Rossby Ekuator, suhu permukaan laut yang hangat, tingkat kelembaban udara, serta kondisi labilitas atmosfer di tingkat lokal.
Seluruh faktor tersebut menentukan potensi terbentuknya awan hujan di wilayah-wilayah prioritas seperti Sumatera dan Kalimantan. Saat potensi awan hujan rendah, Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) tidak dapat dilakukan meskipun ancaman karhutla sedang tinggi.
Dalam situasi seperti ini, satu-satunya opsi yang bisa diandalkan adalah intervensi non-OMC seperti patroli rutin, penjagaan wilayah, dan langkah-langkah pencegahan yang harus dilakukan secara maksimal.
BMKG mencatat periode akhir Juli hingga awal Agustus adalah ase kritis yang perlu mendapatkan perhatian ekstra, khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Prediksi cuaca menunjukkan potensi pertumbuhan awan di wilayah Sumatera diperkirakan cukup tinggi pada 29–31 Juli, menurun sementara di awal Agustus, lalu kembali meningkat pada 3–4 Agustus.
Di Kalimantan, pertumbuhan awan masih berada pada tingkat sedang hingga 30 Juli, namun diperkirakan meningkat mulai 31 Juli dan mencapai puncaknya pada 3–4 Agustus.
Saat potensi awan hujan rendah sementara indeks Fire Danger Rating System (FDRS) tinggi, seluruh pihak di daerah perlu mengaktifkan kewaspadaan darat secara maksimal, termasuk pemetaan area rawan, mobilisasi sumber daya pengendalian, serta upaya pencegahan kebakaran sejak dini.
"Untuk mendukung upaya mitigasi, BMKG bersama BNPB, TNI AU, yang didukung Pemerintah Provinsi, telah melaksanakan OMC di sejumlah provinsi prioritas rawan karhutla, seperti Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jambi, dan Kalimantan Barat. Rata-rata efektivitas penyemaian hujan di wilayah-wilayah tersebut mencapai tingkat keberhasilan 85 hingga 100 persen, dengan akumulasi curah hujan mencapai lebih dari 586 juta meter kubik," terang Dwikorita.