Pulau Tujuh (7 Eiland) (2)
Akhmad Elvian dan Pulau Tujuh.-screnshot-
Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP
Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung
Penerima Anugerah Kebudayaan
PADA Tahun 1671 Masehi, Bupati Nusantara (Raja Muda) yang berkuasa di Bangkakota wafat, kekuasaan atas pulau Bangka secara langsung dilimpahkan kepada putrinya Ratu Agung yang telah menjadi istri sultan pertama dari Kesultanan Palembang Darussalam (menikah pada Tahun 1666 Masehi), Kiai Mas Hindi Pangeran Kesumo Abdurrohim bergelar Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam (memerintah Tahun 1659-1706 Masehi).
---------
KEKUASAAN atas pulau Bangka selanjutnya diserahkan Ratu Agung kepada suaminya Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam dan pulau Bangka secara resmi melalui ikatan perkawinan menjadi bagian dari Kesultanan Palembang Darussalam.
Pada perkembangan selanjutnya sekitar pertengahan Abad ke-17 Masehi perdagangan Lada ditandai dengan campur tangan bangsa asing kulit putih bangsa Belanda yang tergabung dalam kongsi dagang VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie). Pada Tahun 1642 Masehi atau masa Kerajaan Palembang diperintah Pangeran Sedo ing Kenayan, kerajaan Palembang telah mengadakan ikatan perjanjian perdagangan Lada dengan VOC di Batavia dan pada Tahun 1710 Masehi, ikatan perjanjian Lada tersebut kemudian diperbaharui pemerintah Hindia Belanda dengan perdagangan Timah (Alfiah, dkk, 1983/1984:28). Pada Tahun 1722 Masehi, tercapai kesepakatan antara kongsi dagang Belanda VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) dengan Sultan Ratu Anum Komaruddin dari Palembang terkait monopoli penjualan Timah. Kesepakatan ini membuka pintu lebih lebar bagi Belanda untuk memborong Timah dari wilayah-wilayah di Bangka, termasuk Toboali (ANRI, Laporan K. Heynis, Residen Bangka dan Palembang kepada Comissarissen mengenai distrik Blinjoe, Soengi Liat, Marawang dan Pankal Pinang Tahun 1818).
Pada Tanggal 13 Februari 1682 Masehi, Pangeran Aria, putera sultan Abdurrahman mendirikan Benteng di Bangkakota, di sungai bernama sama, dengan Satu unit pasukan dari Makassar. Pembangunan Benteng ini terutama bertujuan untuk mengamankan jalur sempit pelayaran dan perdagangan di Selat Bangka yang terletak dekat dengan Bangkakota (Den Pangeran Aria, twee de soon des ouden konings van Palembangs, soude (volgens bericht) met goede informatie en belijt van zijn vader na’t eijlant Banca vetrocken zijn om aldaar aen een reviertje genaemt Banca Kotta een goede heghte pagger op te werpen en sigh met rooven te behelven, mitgaders alle vijtge weeckene en omswervende Maccassaren van alle platsen, onder belovte van bescherminge na derwaarts materwoon te loocken om door ...... Dagh-Register 13 Februari 1682 Vol.I, hal. 169). Pembangunan benteng ini ditentang oleh VOC karena mengganggu alur perdagangan Lada dan sebagai ancaman bagi kapal-kapal VOC di kawasan tersebut.
Penguasaan wilayah Bangkakota oleh Kesultanan Banten dan pembangunan Benteng pada Tanggal 13 Februari 1682 Masehi, oleh Pangeran Aria, putera sultan Abdurrahman dari kesultanan Palembang Darussalam dan dengan menempatkan Satu unit pasukan dari Makassar di wilayah Bangkakota dekat dengan sungai Bangkakota (Dagh-Register 13 Februari 1682 Vol.I, hal. 169), menunjukkan bukti, bahwa alur perdagangan Lada dan Timah disekitar Chang-yao shu (pulau Mapor), Lung-ya-ta-shait (gunung Daik di pulau Lingga), Man-t'ouhsu (pulau Roti?), Chi-shu (pulau Tujuh) dan Peng-chia shan (gunung Bangka atau gunung Menumbing), dan alur sempit di selat Bangka sangat penting untuk diawasi keamanannya. Pembangunan pusat kekuasaan kesultanan Banten di Bangkakota pada pertengahan abad 17 dan kemudian Kesultanan Palembang Darussalam juga mendirikan Benteng di Bangkakota menunjukkan wilayah Bangkakota sangat strategis untuk mengawasi rute atau alur perdagangan Lada dan Timah masa itu, termasuk bagi pengawasan wilayah Chi-shu (pulau Tujuh) yang berada di Utara pulau Bangka. Sungai Bangkakota walaupun tidak sangat lebar, namun merupakan sungai yang bagus untuk dilewati karena lebar sungainya sama besar dari muara sampai ke kota atau ke benteng, yang terletak Sembilan mil dari muara sungai (Court, 1821:211,212). Pembangunan benteng ini sangat ditentang oleh VOC karena dianggap mengganggu dan sebagai ancaman bagi kapal-kapal VOC di kawasan tersebut.
Berdasarkan Algemeen Verslag Der Residentie Banka Over Het Jaar 1850, bundel Bangka Nomor 41, dilaporkan tentang perompak laut (zeerovers) yang menjarah kawasan di sekitar alur perdagangan Lada dan Timah di sekitar selat Bangka dan di perairan pulau Bangka. Setelah ditelisik, bahwa pada masa pulau Bangka di bawah pemerintahan Sultan Kesultanan Palembang Darussalam, Muhammad Bahauddin, sekitar Tahun 1792/1793 Masehi, terdapat beberapa kali serangan perompak laut terhadap pulau Bangka yang berasal dari Kesultanan Johor dan Kesultanan Lingga (maksudnya Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang). Para perompak laut umumnya merampok Timah yang diangkut dan akan dijual kepada VOC. Perampokan Timah secara tidak langsung adalah upaya untuk memutus salah satu sumber kekayaan VOC, karena VOC telah memonopoli perdagangan Lada dan Timah melalui Palembang (kontrak ditandatangani tahun 1642,1710,1722 dan seterusnya secara priodik kontrak perdagangan selalu diubah sampai VOC dibubarkan Tahun 1799). Penjualan Lada dan Timah kepada VOC dilakukan dengan harga yang jauh berbeda dengan harga yang ada di pasaran bebas. Meneliti catatan di atas tampaknya, sejak Tahun 1787, Sultan Riau-Johor-Pahang, Mahmud Riayatsyah, telah memindahkan ibukota kerajaan Riau-Johor-Pahang ke Daik Lingga, sehingga kemudian disebut dengan kerajaan/kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang. Pemindahan ini dilakukan Sultan Mahmud Riayatsyah sebagai strategi menghadapi ancaman Belanda yang ingin menyerang Riau dan menghukumnya karena telah dianggap membangkang (Ishak,dkk;2018,21). Sebagai upaya perlawanan lanjutan terhadap VOC (Perang Riau melawan VOC, tahun 1782-1784) dilakukanlah serangan terhadap wilayah perairan alur perdagangan Lada dan Timah disekitar Selat Bangka dan pesisir Pulau Bangka yang dikuasai oleh VOC. Serangan terhadap kawasan alur perdagangan Lada dan Timah di selat Bangka dan perairan disekitar pulau Bangka dengan tujuan mengusir VOC, disebutkan berasal dari kerajaan Lingga dipimpin oleh Panglima angkatan perang Lingga, bernama Raman atau Rahman yang dalam literatur Eropa (eropasentris dan nerlandosentris) disebut dengan serangan bajak laut yang dipimpin kepala perompak laut.
Salah satu sebab khusus penyerangan adalah “permintaan” dari Abang Abdoel Raoef putera Abang Tawi yang dihukum mati oleh Sultan Palembang Muhammad Bahauddin karena fitnah dari Tumenggung Kertamenggala yang menuduh Abang Tawi membangun benteng di Kampung Patemun, Teluk Rubiah untuk menyerang Palembang (sebelum meminta izin pembangunan benteng ke sultan Palembang, Abang Tawi telah pergi ke Trengganu dan juga telah pergi menghadap kepada Yang Dipertuan Sultan Lingga). Dalam perang tersebut Depati Djeroek, bernama Depati Karim atau Depati Anggoer ikut membantu Panglima Raman luka-luka dan gugur, puteranya yang masih kecil bernama Bahrin kemudian dipelihara dan dididik Panglima Raman di Lingga (Bakar, 1969:21). Epp (1900) sebagaimana dikutip Heidhues (2008:90) menyatakan: Bahrin dibesarkan sebagai seorang pemuda oleh panglima Rahman, seorang pemimpin orang Laut di pulau Lingga, menunjukkan Bahrin punya hubungan dengan Riau, juga hubungan dengan Palembang. Hal inilah yang kemudian pada saat bersamaan dengan pengangkatan Abang Ismail bergelar Tumenggung Kertamenggala sebagai tumenggung di Mentok pada Tahun 1803, diangkat juga Bahrin sebagai seorang depati di pulau Bangka untuk wilayah Djeroek (Dsuwok). Pengangkatan ini dengan tujuan untuk mereda ketegangan antara Palembang dan Lingga.
Dalam Semaian 2 Carita Bangka Het Verhaal van Bangka Tekstuitgave Met Introductie en Addenda dinyatakan: ”Maka tempoh itu depati Depak nama depati Anggur sudah bikin gelab Timah Tiban dan Timah parit, jual dengan bajak Lanun yang datang di sini. Maka baginda sahunan pun dapat tahu itu dari dia punya jenang yang jaga di situ, lantas baginda pun kirim satu kepala dari Palembang nama Kemas Ismail dengan beberapa orangnya memukul itu dipati, lantas itu kalah luka. Dengan sebab itu dia sudah lari dengan anak bininya ikut lanun dan itu anaknya bernama Barin, baru diberanakkan tetapi dipati Anggur mati juga di negeri lanun dengan sebab dia punya luka yang tersebut tadi. Kemudian di dalam ini tempuh tidak berapa lama lantas Lanun datang memukul tanah Bangka berhimpun di pulau Lepar dan Belitung. Dari situ dia mencuri dan memukul orang kerja parit distrik Toboalih dan Kubak. Maka banyak Timah dan orang Bangka yang dirampas dan ditangkap (Wieringa, 1990:110).
Panglima Raman atau Rahman dalam beberapa catatan sejarah dikatakan sebagai seorang yang berasal dari Lingga, ayahnya seorang saudagar Bugis yang menikah dengan puteri salah satu pemuka orang Laut yang paling terhormat. Dia dibawa ke istana oleh Raja Muda dan kemudian dinobatkan menjadi kepala orang Laut dari Lingga dan terkenal sebagai bajak laut. Diceritakan kembali dari Tuhfat al-Nafis: “Panglima Raman merampok dari Bangka ke Jawa, membawa banyak tahanan dan membawa mereka ke Lingga. Pada saatnya orang-orang Bangka datang untuk menikmati hidup di Lingga dan mereka mendirikan kebun-kebun dan kampung-kampung dan tidak mau kembali lagi. Kadang-kadang kerabat mereka berasal dari Bangka tidak melalui perampokan tetapi secara sukarela dan menyerahkan diri kepada sultan Mahmud, dengan demikian kemudian Lingga menjadi padat penduduknya” (Matheson en Watson Andaya, 1982:184). Sangat mungkin yang dimaksudkan dengan orang Bangka yang datang secara sukarela ke Lingga adalah keluarga Abang Tawi di Mentok yang dihukum sultan Palembang. Mereka pindah ke Lingga dipimpin oleh Abang Abdoelraoef, putera Abang Tawi. Saat itu hampir separuh penduduk Mentok telah siap berangkat pindah ke Lingga, akan tetapi sultan kemudian mengutus seorang Arab bernama Said Ali Bin Syeikh membujuk sebagian keluarga jauh Abang Tawi untuk tetap tinggal di Mentok. Orang Mentok yang pindah ke Lingga dibantu oleh Panglima Raman dan kemudian ditempatkan di pulau Singkep. Orang-orang Mentok keluarga abang Tawi, kemudian secara sembunyi-sembunyi banyak membawa orang-orang dari Sungailiat dan Merawang untuk menambang Timah di Singkep. Pada Tahun 1793 Masehi, Panglima Raman menaklukkan Koba (Horsfield, 1848:52,224), beberapa lama kemudian menaklukkan dan menguasai Pangkalpinang selama berbulan-bulan. Seorang Arab bernama Abdullah Djalil, kemudian berhasil mengusir panglima Raman dan mengembalikan Pangkalpinang ke dalam kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam. Hanya wilayah Mentok yang tidak diserang oleh Panglima Raman, karena di Mentok masih banyak bermukim keluarga dari Abang Abdoel Raoef atau keluarga dari Abang Tawi yang menjadi sekutu Lingga.