Absennya Etika pada Praktik 'Governmentality' dalam Pengadaan Tong Sampah di Kabupaten Belitung imur
Hairul Sandi Mantowi.-Dok Pribadi-
Oleh Hairul Sandi Mantowi
Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan UGM
Seiring waktu permasalahan sampah semakin menguat dalam pembicaraan diberbagai kalangan masyarakat tingkat global hingga lokal. Di tingkat global melalui Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) membuat agenda global yang mencakup 17 tujuan dan 169 target yang bertujuan untuk menciptakan dunia yang lebih baik, adil, dan berkelanjutan bagi semua masyarakat global.
SDGs idealnya dirancang untuk mengatasi berbagai tantangan global, seperti kemiskinan, kelaparan, ketimpangan, perubahan iklim, dan lain-lain. Dari berbagai macam tujuan salah satu isu yang harus dibenahi adalah tata kelola sampah.
Dalam agenda SDGS isu sampah masuk ke tujuan 11 (Kota dan Komunitas Berkelanjutan) dan tujuan ke-12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab), serta tujuan ke-14 (Ekosistem Lautan). Dengan adanya agenda SDGS diharapkan setiap pemerintah di masing-masing negara, tak terkecuali Indonesia mampu mengadaptasikan agenda SDGS dalam konteks lokal, agar tujuan besar dari adanya SDGS dapat tercapai.
Idealnya, kebijakan pengelolaan sampah berbasis SDGs bersifat top-down, meskipun dalam praktiknya juga melibatkan pendekatan bottom-up. Pendekatan top-down ini bermula dari agenda global yang diinisiasi oleh PBB, kemudian diterjemahkan ke dalam kebijakan nasional oleh pemerintah Indonesia, dan selanjutnya di implementasikan oleh pemerintah daerah hingga menjangkau tingkat desa dan masyarakat.
Pendekatan ini melibatkan banyak aktor yang diharapkan dapat bersinergi dalam mewujudkan tata kelola sampah yang berkelanjutan. Sebagai respons terhadap agenda global tersebut, Indonesia telah menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) IV Tahun 2020–2024 yang memiliki dua fokus utama, yaitu pengurangan sampah dan penanganan sampah. Di level Pemerintah Pusat menargetkan bahwa pada tahun 2025, jumlah sampah yang berhasil dikurangi harus mencapai 30%, sedangkan sampah yang tertangani harus mencapai 70% (BPS, 2018).
Di tingkat regional turunannya seperti yang diadopsi oleh Pemerintah Kabupaten Belitung yaitu Peraturan daerah (PERDA) Kabupaten Belitung Nomor 11 Tahun 2015 yang sejatinya telah memberikan dasar hukum yang cukup kuat dalam pengelolaan sampah, mulai dari jenis sampah yang diatur, hak dan kewajiban warga, hingga skema insentif, retribusi, dan pendanaan.
Salah satu bentuk implementasi dari Peraturan Daerah tersebut adalah pengadaan tong sampah, infrastruktur pengelolaan sampah, dan kendaraan pengangkut sampah yang didanai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara rutin setiap tahun dari data yang digunakan yaitu 2018 hingga 2023. Dalam rentang waktu tersebut, Pemerintah Kabupaten Belitung melalui Dinas Lingkungan Hidup telah mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk pengadaan sarana fisik pengelolaan sampah.
Jika diakumulasikan, total anggaran mencapai sekitar Rp1,9 miliar, yang sebagian besar digunakan untuk pengadaan tong sampah dan kendaraan operasional. Idealnya, tujuan pengadaan alat penunjang tata kelola sampah tersebut diharapkan mampu mengurangi volume sampah yang tidak tertangani serta meningkatkan efisiensi pengelolaan sampah di tingkat sumber maupun tempat pembuangan akhir. Namun yang diharapkan justru sebaliknya.
Berdasarkan data yang diolah dari laman sipsn.menlhk.go.id periode 2020-2024, pengelolaan sampah di Kabupaten Belitung tampak belum cukup adaptif dalam menghadapi dinamika peningkatan timbulan sampah. Selama lima tahun terakhir, tren pengelolaan sampah di wilayah ini menunjukkan kondisi yang memerlukan perhatian serius. Sebagai perbandingan, jumlah timbulan sampah mengalami lonjakan signifikan dari 25.910 ton pada 2020 menjadi 34.947 ton pada 2024 naik hampir 35%.
Kenaikan ini menandakan beban kerja sistem pengelolaan sampah semakin berat, namun tidak dibarengi dengan peningkatan kapasitas yang memadai. Dari sisi upaya pengurangan sampah, trennya pun belum konsisten. Capaian pengurangan sempat menyentuh angka tertinggi pada 2021, yakni 17,06%, namun terus menurun hingga hanya 13,72% pada 2024. Angka ini masih jauh dari target nasional, yaitu 30% pengurangan sampah pada 2025.
Dari sisi penanganan sampah, sempat terjadi perbaikan dari 26,84% (2020) ke 58,04% (2023), namun justru turun menjadi 47,35% di 2024. Data ini mengindikasikan gejala "kelelahan sistem", di mana sarana pengangkutan dan kapasitas tempat pemrosesan akhir (TPA) mulai kewalahan menghadapi volume sampah yang terus bertambah. Tahun 2022 menjadi puncak kinerja pengelolaan, dengan 73,23% sampah berhasil ditangani.
Namun, tren ini kembali menurun di tahun-tahun berikutnya hingga menyentuh 61,07% pada 2024, semakin menjauh dari target nasional 70% penanganan sampah pada 2025. Sementara itu, daur ulang yang seharusnya menjadi solusi strategis masih menunjukkan angka stagnan. Volume daur ulang hanya berkisar antara 3.100-4.700 ton per tahun, yang sangat kecil jika dibandingkan dengan total timbulan sampah tahunan. Hal ini memperlihatkan bahwa kebijakan ekonomi sirkular belum terintegrasi secara sistemik di daerah.
Capaian pengelolaan sampah di Kabupaten Belitung masih berada jauh di bawah target nasional. Baik dalam aspek pengurangan, penanganan, maupun daur ulang, tren yang terlihat menunjukkan perlambatan bahkan kemunduran, sehingga menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh dan penguatan strategi tata kelola sampah yang lebih adaptif, berkelanjutan, dan terintegrasi. Lantas hal ini menimbulkan pertanyaan atas efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran.
Apakah pembelanjaan barang seperti tong dan kendaraan sudah didasarkan pada analisis kebutuhan riil di lapangan? Sebab, berdasarkan data di atas pengelolaan sampah tidak membaik meski investasi melalui fasilitas dan alat penunjang terus dilakukan. Menjawab pertanyaan tersebut yang perlu diketahui yaitu dalam sistem pemerintahan daerah, keberadaan regulasi, prosedur, dan mekanisme anggaran sering kali dijadikan penanda utama dari keberhasilan administrasi publik.
Secara hukum, pengadaan tersebut mungkin telah melalui prosedur perencanaan dan penganggaran yang benar. Dokumen perencanaan seperti Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), dokumen pengadaan barang dan jasa, hingga laporan realisasi anggaran bisa jadi sudah sesuai dengan ketentuan. Namun dari sisi moralitas publik, kebijakan tersebut patut dipertanyakan.
Untuk siapa tong sampah itu diadakan? Bagaimana logikanya pengadaan dilakukan ketika sistem pengangkutan sampah tidak tersedia? Di sinilah titik kritis dari kegagalan etika dalam kebijakan publik. Guy Peters dalam pemikirannya tentang kegagalan kebijakan menekankan pentingnya relevance, yaitu kesesuaian kebijakan dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat (Nurdin dkk, 2023). Ketika pengadaan dilakukan hanya demi menghabiskan anggaran atau sekadar memenuhi indikator program, maka kebijakan menjadi kosong makna.
Kebijakan mungkin sah secara hukum, namun cacat secara etis. Dalam konteks ini, saya melihat akuntabilitas semu yakni situasi di mana pemerintah dianggap telah menjalankan tugasnya, tetapi tidak benar-benar menyelesaikan akar dari masalah sampah. Lebih lanjut, jika dianalisis dengan pendekatan Michel Foucault tentang governmentality, maka kebijakan pengadaan ini adalah bagian dari praktik kekuasaan yang merembes melalui teknik-teknik administratif (Urosevic, 2024).
Kekuasaan tidak lagi bekerja melalui larangan dan perintah eksplisit, tetapi melalui pengelolaan yaitu sebuah cara mengatur kehidupan masyarakat yang tampak netral dan sah. Namun ketika pengelolaan itu tidak berpijak pada realitas sosial, ia menjadi alat pelanggengan ketimpangan, sekaligus menunjukkan bahwa kekuasaan dapat bersifat arbitrer meskipun dibungkus dalam legalitas.
Dalam kasus ini, pengadaan alat dan fasilitas sampah tidak selaras hulu dan hilirnya. Hulu merujuk pada sumber awal timbulnya sampah dan upaya pengurangan di tingkat masyarakat dan produsen. Hilir adalah tahapan setelah sampah dikumpulkan, yaitu pengangkutan, penanganan di TPA, hingga daur ulang dan menjadi energi listrik. Masalah utama pengelolaan sampah di Belitung adalah ketidakseimbangan perhatian dan anggaran antara hulu dan hilir.
Pemerintah cenderung mengucurkan dana untuk hilir (tong, truk, TPA), tapi mengabaikan solusi hulu seperti edukasi, regulasi pembatasan sampah, inisiatif menjadikan energi dan sistem insentif. Akibatnya, keputusan anggaran tidak mencerminkan kebutuhan riil masyarakat, melainkan kepentingan elite lokal atau sekadar mengakomodasi dana yang sudah tersedia. Pengadaan bukan lagi soal solusi, tetapi soal prosedur. Di titik inilah etika publik benar-benar absen.
Ketiadaan sistem pengangkutan sampah di level desa, lalu tidak adanya kebermanfaatan mengolah sampah menjadi energi memperjelas bahwa kebijakan yang ada tidak mempertimbangkan ekosistem layanan publik secara menyeluruh. Tong sampah, dalam konteks ini, menjadi semacam artefak dari kebijakan yang gagal, simbol dari administrasi yang tak mampu membaca kebutuhan rakyatnya.
Hal ini juga menjadi bukti bahwa ukuran akuntabilitas yang digunakan pemerintah daerah lebih menekankan pada output fisik, bukan pada outcome sosial. Dalam kerangka new public management (NPM), birokrasi publik seharusnya diarahkan untuk menghasilkan efisiensi, efektivitas, dan kepuasan masyarakat (Lane, 2002). Namun prinsip ini tidak akan bermakna jika pemerintah daerah hanya mengejar serapan anggaran tanpa memperhatikan value for money.
Dana publik yang digunakan dalam pengadaan tersebut tidak memberikan nilai guna yang nyata. Hal ini tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara. Untuk menutup gap antara etika dan legalitas, diperlukan perubahan pendekatan dalam perencanaan dan evaluasi kebijakan publik. Pertama, mekanisme audit sosial perlu diperkuat agar masyarakat dapat menilai secara langsung apakah kebijakan yang dibuat benar-benar bermanfaat.
Kedua, indikator akuntabilitas harus diperluas, tidak hanya berbasis prosedur tetapi juga berbasis relevansi dan dampak. Ketiga, partisipasi warga dalam proses perencanaan harus diperkuat agar kebutuhan riil menjadi dasar dari kebijakan.
Sumber Referensi
Lane, J. E. (2002). New public management: an introduction. Routledge.
Nurdin, N., Ricky, S. E., Wahdi, S. O., Then Suyanti, M. M., & Santoso, S. H. (2023). Implementasi Teori & Kebijakan Publik Terapan. MEGA PRESS NUSANTARA.
Urošević, M. (2024). Theory and History of „Governmentality “and Governmental Regimes in The Work of Michel Foucault. Etnoantropološki problemi/Issues in Ethnology and Anthropology, 19(3), 921-942.
https://peraturan.bpk.go.id/Details/21532/perda-kab-belitung-no-11-tahun-2015
https://sdgs.un.org/goals
https://perpustakaan.bappenas.go.id/e-library/file_upload/koleksi/migrasi-data-publikasi/file/
https://www.bps.go.id/publication/2018/12/07/d8cbb5465bd1d3138c21fc80/statistik-lingkunganhidup-indonesia-2018.html