TOPONIMI PANGKALPINANG

Elvian--
Oleh: Dato’Akhmad Elvian, DPMP
Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung
Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia
TOPONIMI berasal dari Bahasa Yunani “topos” yang berarti tempat (permukaan bumi) dan “onoma” yang berarti nama.
TOPONIMI merupakan cabang ilmu onomastika yaitu ilmu yang mempelajari tentang asal-usul dan arti nama khususnya nama unsur topografi atau bentang alam (rupabumi), dan nama-nama wilayah geografi administrasi pemerintahan. Toponimi bahkan mempelajari lebih luas lagi, yaitu mengkaji makna di balik nama, yang meliputi nilai-nilai kehidupan, filosofis dan historis dengan ciri khas bahasa, kelokalan (fenomena alam yang spesifik) dan kehidupan masyarakatnya. Data Toponimi umumnya diperoleh melalui tradisi lisan masyarakat (folklore). Toponimi Pangkalpinang atau penamaan wilayah geografis Pangkalpinang secara historis dan filosofis menunjukkan arah cita-cita atau visi awal Pangkalpinang sejak didirikan.
Pangkalpinang berasal dari kata generik “Pangkal” dan kata spesifik “Pinang”. Pangkal dalam bahasa Melayu Bangka bermakna; Tempat kedudukan demang dan jenang yang mengelola pertimahan, pusat segala aktifitas dimulai (Pengkal), pelabuhan dan pusat pasar atau perniagaan (Pangkalan/Pekalen), pusat distrik atau pusat pemerintahan (Pangkal). Sementara itu kata “Pinang” (areca chatecu), adalah nama sejenis pohon palma yang multi fungsi dan endemik tumbuh di wilayah geografis saat awal pangkal didirikan. Bila penulisan Pangkal (nama generik) dan Pinang (nama spesifik) dipisahkan penulisannya, hal ini menunjukkan bentang alam (topografi) atau rupabumi, Satu pelabuhan yang banyak ditumbuhi pohon Pinang. Bila penulisannya disatukan menjadi “Pangkalpinang” pengertiannya menjadi nama spesifik sebagai wilayah geografis pemerintahan kota.
Contoh sederhana lagi misalnya penulisan Bukit (nama generik) dan Tinggi (nama spesifik) dipisahkan menunjukkan arti Satu Bukit yang Tinggi (mengacu ke penamaan topografi atau rupabumi) dan bila tulisannya disatukan menjadi Bukittinggi, hal ini menunjukkan Satu wilayah geografis pemerintahan Kota Bukittinggi di Sumatera Barat. Dalam dialek Hakka, kata Pinang disebut Pinkong (Pinlang) yang berarti Pohon Pinang (nama spesifik atau nama diri), yang secara harfiah dan filosofis tulisan pinlang atau pinkong bermakna: “Adil dan Merata untuk Masyarakat Umum”. Pada Tahun 1773, nama Pinkong (Pinlang) dijadikan sebagai nama mata uang picis Pangkalpinang yang terbuat dari lempengan Timah dan hanya berlaku untuk wilayah dalam distrik Pangkalpinang.
Pendirian Pangkal-pangkal di Pulau Bangka sebagai tempat kedudukan Demang dan Jenang yang diangkat dari kerabat Sultan atas perintah sultan Palembang Susuhunan Sultan Ahmad Najamuddin I Adi Kesumo kepada Abang Pahang bergelar Tumenggung Dita Menggala sejak pengangkatannya sebagai sultan pada Tanggal 17 September 1757 atau bertepatan dengan Tanggal 3 Muharam 1171 H. Salah satu dari 13 Pangkal yang didirikan di pulau Bangka pada masa itu yang berkembang menjadi wilayah geografis pemerintahan di kemudian hari adalah Kota “Pangkalpinang”.
Pangkalpinang, didirikan oleh sultan Kesultanan Palembang Darussalam untuk kepentingan ekonomis, politis, dan kepentingan sosial budaya. Dalam konteks ekonomis, Pangkal berfungsi sebagai tempat pertemuan berbagai aktifitas perekonomian masyarakat yang berbasis bahari (sea based culture) dengan perekonomian masyarakat berbasis darat (land based culture), karena pangkal umumnya didirikan pada tepi muara sungai dekat laut dan sungai biasanya terhubung ke wilayah-wilayah pedalaman yang menghasilkan beranekaragam hasil bumi. Lambat laun pertemuan dua basis kebudayaan tersebut membentuk Daerah Pusat Kegiatan, pusat pasar dan perdagangan. Sebagai pangkal tempat pertemuan berbagai aktifitas perekonomian masyarakat, saat ini Pangkalpinang berkembang menuju metropolis dengan beragam investasi untuk melengkapi fasilitas perkotaan yang maju. Satu tantangan besar bagi pemimpin di Kota Pangkalpinang agar tetap bias menjaga visi sejarah Pangkal ini sebagai pusat perekonomian, perdagangan dan jasa.
Pangkal juga dalam konteks ekonomi berfungsi sebagai pelabuhan pendukung (feeder point) yang merupakan pusat perdagangan lokal kecil melayani entrepot-entrepot dan pusat pengumpulan regional yang penting. Sungai Pangkalpinang atau sekarang bernama sungai Rangkui pada masa kesultanan Palembang menjadi sangat penting bagi pulau Bangka karena merupakan urat nadi bagi transportasi dan perekonomian, dan tentu saja pada bagian muara sungai berfungsi sebagai pelabuhan pengumpul (feeder point). Muara sungai Pangkalpinang yang berada di sungai Merawang (sekarang disebut sungai Baturusa), posisinya berada di Pelabuhan Pangkalbalam berhadapan dengan wilayah laut Kalimantan atau Zee van Borneo, sebagai penghubung pulau Bangka dengan dunia luar. Jalur distribusi dan transportasi pengangkutan hasil-hasil bumi dan hasil pertambangan Timah dari berbagai wilayah di pulau Bangka menuju Pangkalpinang dari wilayah Utara, Barat dan Selatan serta Barat Daya dilakukan melalui sungai maupun jalan darat dan akan berakhir di pelabuhan pada Muara sungai Pangkalpinang. Untuk mewujudkan visi sejarah Pangkalpinang sebagai Pangkal yang berfungsi sebagai pelabuhan, maka harus segera dirancang pembangunan pelabuhan Pangkalbalam yang disebut dengan New Port Pangkalbalam. Sebagai kota tempat pelabuhan, saat ini hampir 80 persen kebutuhan pulau Bangka dipasok melalui pelabuhan Pangkalbalam.
Dalam konteks politis, Pangkal berfungsi sebagai tempat kedudukan Demang yang diangkat langsung oleh sultan dari kaum kerabatnya, dan mereka ditugaskan mengawasi pajak Timah Tiban sebagai Tanda Raja dan demang juga bertugas mengawasi jalur distribusi Timah sebagai penghasilan utama Kesultanan. Pendirian Pangkal di pulau Bangka dalam konteks politik mempertegas kedudukan pulau Bangka sebagai wilayah sindang yang memilki status merdeka atau bebas (vryheren). Kewajiban daerah sindang adalah mempertahankan wilayahnya apabila diserang oleh musuh. Sedangkan hukum adat yang berlaku untuk wilayah Sindang adalah hukum adat Sindang Mardika. Dalam konteks kekinian secara politis kita harus lebih menata Pangkalpinang yang dalam tradisi sejarah politik dan pemerintahan adalah sebagai pusat politik dan pemerintahan serta sebagai ibukota dari zaman ke zaman. Penataan Pangkalpinang sebagai ibukota provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah keniscayaan agar ibukota propinsi dapat maju sejajar dengan ibukota-ibukota provinsi lainnya di Indonesia. Penataan kota di samping mempercantik tampilan kota juga memberikan kenyamanan dan berbagai fasilitas pendukung bagi masyarakat dan tamu yang datang ke Pangkalpinang. Sebagai kota bersejarah penataan kota dilakukan dengan membangun taman kota berbasis budaya dan pengembangan kawasan pusaka bersejarah civic centre dengan mengadaptasi berbagai bangunan bersejarah sebagai penanda kota serta mengembangkan dan memanfaatkannya dengan perpaduan antara fungsi heritage dengan ekonomi dan kepariwisataan.
Dalam konteks sosial budaya, pangkal sebagai pusat pertemuan dua basis kebudayaan di Pulau Bangka, kemudian berkembang menjadi kampung (native village) dan kampung besar (big village) dalam kelompok wilayah batin dan depati. Pada perkembangan masyarakatnya, terjadi pembagian kerja dengan diferensiasi fungsi, hak dan tanggung jawab yang melahirkan kelompok-kelompok sosial dengan aktivitas sosial berupa interrelation dan social interaction antar warganya. Karakteristik interrelation dan social interaction kemudian terwujud ke dalam bentuk fisik (tangible) dan non fisik (intangible) yang membentuk Pangkalpinang. Secara filosofis merujuk pada pengertian kota secara leksikografis, sebenarnya Pangkalpinang yang didirikan pada masa itu (Tahun 1757) sudah menunjukkan ciri pada pengertian kota sebagai pusat kegiatan pemerintahan, pusat kegiatan ekonomi, pusat kebudayaan dan pusat peradaban, apalagi dalam peta-peta lama bangsa asing kulit putih disebutkan Stockade of Pangkalpinang yang berarti Kota Pangkalpinang.