Puasa dan Perilaku “Kelitet”

Ahmadi Sopyan-Dok Pribadi-
Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya
PUASA mendidik kita agar tidak “kelitet”,
sehingga mampu menahan diri
dan membaca kemampuan diri.
SEORANG kawan bertanya: “Apa makna puasa bagi kita tahun ini, bro?”. Sudah tahu saya bukan tokoh, bukan pejabat, bukan ustadz apalagi kiyai, tapi hal yang beginian ditanyakan juga kepada saya yang notabene menikmati puasa dengan memperbanyak porsi tidur di siang hari sampai sore dan malam hari begadang sampai pagi alias berperilaku puasa tingkat balita. Tapi dasar saya, karena sudah ditanya tetap saja menjawab sekenanya sesuai dengan kadar ketidakmampuan: “Simpel aja bro, puasa Ramadhan di era uphoria demokrasi ini plus kemenangan Kotak Kosong sehingga diadakan Pilkada Ulang di Kabupaten Bangka dan Kota Pangkalpinang, mendidik kita agar tidak “KELITET”. Gitu aja kok kelitet, eh repot?!”. Sang kawan pun tak bertanya lagi, mungkin bingung dengan jawaban nggak jelas ini. Salah sendiri kenapa bertanya sama orang yang nggak jelas keilmuannya.
“Kelitet”, begitulah ungkapan masyarakat Bangka yang bermakna genit alias begatel, yang umumnya ditujukan kepada remaja atau orang yang sedang puber. Tapi jika dicermati lebih jauh, sesungguhnya perilaku kelitet bukan hanya dimiliki oleh kaum puber seperti remaja ABG (Anak Beranjak/Baru Gede), termasuk juga ABG tua. Perilaku kelitet adalah perilaku tak mampu menahan diri karena ketidakmampuan membaca kemampuan diri, yang hanya mengandalkan emosi dan ambisi semata. Jadi boleh dikatakan perilaku kelitet ini bagaikan virus yang menulari setiap manusia tanpa memandang status sosial mupun profesi.
Saya tak mau mengupas perilaku ABG yang kelitet, karena sudah terlalu memenuhi jalanan di Bangka Belitung ini sehingga saya tak tahu lagi mulai dari mana untuk menulisnya. Apalagi menjelang dan sesudah buka puasa, tak hanya baliho ucapan selama puasa yang berkeliaran sepanjang jalan, tapi para ABG-ABG kelitet memenuhi jalanan dengan busana yang bikin mata kita kaum laki-laki semakin jalang. Sepertinya mereka adalah yatim, yang tak memiliki orangtua sehingga tak ada upaya pencegahan dari orang yang lebih tua bernama ayah dan ibu.
Santri yang baru keluar dari pesantren atau orang yang baru belajar agama pun bisa terkena virus kelitet. Sikap yang gampang mengkafirkan orang lain, merasa diri paling Islam Kaaffah, merasa paling alim serta selalu ingin tampil terdepan memberikan nasehat dan ceramah tak lepas dari akibat “kekelitetan” yang kerapkali saya sebut sebagai “kepon tampil” atau “kepon poularitas”. Orang miskin yang mendadak kaya atau OKB (Orang Kaya Baru) juga acapkali berperilaku kelitet. Semisalnya dari yang tak punya mobil menjadi punya. Setiap hari mobil dicuci dan selalu ingin keluar rumah menikmati kendaraan yang baru dimiliki.