Institusionalisasi dan Urgensi Sidang Isbat

--

Oleh Abu Rokhmad
Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI

SIDANG Isbat untuk menetapkan awal Ramadan dan Idul Fitri merupakan praktik keagamaan yang khas Indonesia.

Sidang ini dipimpin oleh Menteri Agama, dihadiri oleh MUI, Komisi VIII DPR RI, ahli-ahli falak dari Ormas Islam, wakil dari Mahkamah Agung, dan astronom dari berbagai lembaga dan universitas. Duta besar negara sahabat atau wakilnya biasanya ikut meramaikan kegiatan ini.

Dalam sidang ini, pemerintah memutuskan dan menetapkan kapan umat Islam mengawali dan mengakhiri bulan puasa Ramadan secara nasional. Sekalipun sudah ada Ormas Islam yang jauh-jauh hari mengumumkan awal dan akhir Ramadan, tetap saja hasil sidang isbat yang dilaksanakan oleh pemerintah sangat ditunggu oleh seluruh umat Islam Indonesia.

Sejak tahun pertama kelahiran Kementerian Agama, pemerintahan Presiden Soekarno telah menganggap penting hari raya keagamaan, dalam konteks muslim adalah Idul Fitri, yang perlu diatur dalam suatu regulasi.

Karena itu, lahirlah Penetapan Pemerintah tahun 1946 Nomor 2/Um, di mana konsiderannya menyebut perlu diadakan aturan tentang hari raya setelah mendengar Badan Pekerja Komite Nasional Pusat. Untuk selanjutnya, setiap tahun penetapan hari raya dilakukan oleh Menteri Agama.

Atas dasar itu, Kemenag RI menggelar—yang sekarang disebut sidang isbat—rutin setiap tahun. Regulasi ini ditandatangani Presiden Soekarno pada 18 Juni 1946, belum dicabut dan bahkan dikukuhkan dengan regulasi lainnya pada masa sekarang ini.

Kapan sidang isbat pertama kali dilakukan? Catatan M. Fuad Nasar menyebut dekade 1950-an atau sebagian sumber menyatakan 1962, Sidang Isbat dalam rangka penetapan 1 Ramadan dan Idul Fitri 1 Syawal dilakukan.

Sidang tersebut dilaksanakan setiap tanggal 29 Sya’ban atau 29 Ramadan, untuk penetapan 1 Ramadan dan 1 Syawal (Idul Fitri). Sidang Isbat juga dilakukan untuk menentukan awal bulan Dzul Hijjah dalam rangka penetapan hari raya Idul Adha.

Institusionalisasi

Untuk memfasilitasi dan mengakomodasi berbagai pandangan para ulama dan Ormas Islam dalam penentuan awal Ramadan dan Idul Fitri, Menteri Agama telah mengambil langkah bijak.

Misalnya, menurut Fuad Nasar, di antara 1950-1952, terdapat Keputusan Menteri Agama tentang Hari-hari Besar, di mana dalam penjelasannya terdapat keterangan yang diikuti sampai sekarang.

Penjelasan tersebut menyatakan “penetapan hari raya Islam, terutama permulaan puasa Ramadan, selain dengan memperhitungkan peredaran bulan (baca: hisab), juga berdasarkan rukyat maka oleh karena itu penetapan tanggal 1 Ramadan dan Idul Fitri pada pokoknya harus menunggu rukyatul hilal yang kelak akan diumumkan pada waktunya.”

Berdasarkan keputusan di atas, pemerintah sejak awal telah berdiri di tengah dan memberi ruang bagi pengikut rukyatul hilal dan hisab untuk bersama-sama membahas posisi hilal awal bulan Ramadan dan Syawal. Ketetapannya diputuskan oleh pemerintah melalui sidang isbat tersebut.

Pada masa Saifuddin Zuhri menjadi Menteri Agama, status sidang isbat diperkokoh dan dilembagakan sebagai mekanisme penetapan awal Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha melalui KMA Nomor 47 Tahun 1963.

Setelah lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, status isbat tersebut dipertegas. Dalam pasal 52 A dinyatakan bahwa “pengadilan agama memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun hijriyah.”

Penjelasan pasal 52 A menyatakan, “Selama ini pengadilan agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadan dan 1 (satu) Syawal.”

Berdasarkan UU di atas, Menteri Agama tetap harus melaksanakan sidang isbat sebagai dasar menetapkan awal Ramadan dan Idul Fitri secara nasional, meskipun menurut perhitungan hisab (wujudul hilal) dan pengikut rukyat (imkanul rukyat), posisi hilal tidak mungkin terlihat, misalnya karena posisi hilal pada tanggal 29 bulan Sya’ban atau 29 Ramadan masih di bawah ufuk.

Urgensi dan Fungsi

Sidang isbat dan rangkaian aktifitas saintifik sebelumnya seperti perhitungan hisab dan rukyatul hilal, selain sebagai sarana pemerintah untuk menetapkan awal Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha, juga memiliki urgensi dan fungsi lain yang perlu dipahami dan dilestarikan.

Pertama, sidang isbat, hisab dan rukyat merupakan momentum meneladani sunnah rasul dalam penetapan awal bulan qamariyyah, khususnya awal Ramadan dan Idul Fitri. Dua metode penentuan awal bulan tersebut, yakni hisab dan rukyat, disebut dalam al-Qur’an dan hadits. Keduanya, semestinya saling melengkapi, menyempurnakan dan mendukung. Sidang Isbat merangkul dan mengakomodasinya lalu memusyawarahkan untuk diputuskan bersama.

Kedua, sidang isbat, hisab dan rukyat merupakan wujud kehadiran negara dalam memberikan layanan keagamaan kepada masyarakat. Sebagai bentuk layanan keagamaan kepada masyarakat, pembiayaan merupakan konsekuensi logis yang tidak mungkin dihindari, sebagaimana layanan pendidikan atau kesehatan.

Pendanaan yang digunakan untuk penyelenggaran sidang isbat, hisab dan rukyatul hilal relatif sangat efisien dan kecil jika dibandingkan dengan layanan agama dan keagamaan lain yang selama ini dilaksanakan Kemenag RI. Taruhlah contoh seperti layanan haji, pernikahan, MTQ, Pesparawi, Pesparani dan apalagi layanan pendidikan agama dan keagamaan, yang jika total biayanya dijumlahkan, tentu sangat besar.

Ketiga, sidang isbat, hisab dan rukyat merupakan momen promosi perkembangan ilmu falak/ astronomi dan perayaan integrasi ilmu fiqh (ilmu agama) dan ilmu astronomi (ilmu umum). Integrasi ilmu yang selama ini masih dicari-cari bentuk idealnya, antara islamisasi ilmu pengetahuan atau ayatisasi ilmu umum, menemukan bentuk konkritnya justru pada bidang ilmu yang sangat dekat dalam kehidupan umat beragama. Di sini, antara astronom dan ahli fiqh bekerja sama, saling membutuhkan dan tidak ada sikap saling menegasikan.

Pada konteks rukyatul hilal, kita sangat membutuhkan alat—apapun namanya nanti—yang mampu meningkatkan kontras sehingga visibilitas hilal makin mudah dilihat, baik dalam keadaan di bawah kriteria imkanur rukyat atau ketika cuaca lagi mendung. Sampai sekarang, alat tersebut belum ditemukan. Dan ini merupakan tantangan bagi cendekiawan muslim.

Keempat, isbat, hisab dan rukyat merupakan momentum syiar Islam menyambut (tarhib) Ramadan sekaligus arena merajut toleransi dan kerukunan umat beragama. Awal bulan qamariyah selalu datang setiap bulan, namun kehadiran Ramadan dan Idul Fitri selalu memiliki vibes yang berbeda. Salah satu yang membedakan adalah adanya sidang isbat, hisab dan rukyat. Tiba-tiba semua orang mendiskusikannya, lebih-lebih bila terjadi perbedaan awal Ramadan dan Idul Fitri atau Idul Adha.

Umat Islam sudah pernah mengalami perbedaan seperti di atas. Umat Islam juga sering sekali mengawali dan mengakhiri puasa Ramadan secara kompak dan bersama-sama. Jika keputusan sidang isbat tidak bulat alias terjadi perbedaan, umat Islam tetap harus rukun, damai dan saling menghormati. Sidang Isbat merupakan media literasi sekaligus arena yang makin mendewasakan umat Islam beragama.(Sumber kemenag.go.id)

Tag
Share